Minggu, 02 Juni 2013

Dihadap Tanya...



“Saya hanya……”
Lidahnya tercekat. Kalimatnya tertahan diantara lidah dan tenggorokan. Ia mengingat hari-hari dimana ia hanya duduk dikursi tua itu, ditemani sebuah agenda tebal penuh cerita, bersanding dengan origami-origami kertas yang setiap hari ia buat, bertebaran diatas meja kayu antik. Didepannya, sebuah jendela terbuka menghadap langsung pada keramaian diluar sana. Menjadi penghubung antara ia dengan dunia luar, dunia yang kontras dengan tempatnya berada saat ini. Ia melamun, lagi. Ingatannya melayang, lagi. Bukan pada lalu yang membuatnya berada disini, tapi pada kesendirian yang tengah ia nikmati.

“Hanya apa…?” tanya seorang gadis cantik dibelakangnya, bukan puterinya, atau keluarganya, apalagi saudara jauh yang sedang menjenguknya. 

Lamunannya seketika mengabur, memaksa ia kembali pada jasadnya dihadap meja kayu antik. Ia tak tau harus menjawab apa. Lama sudah otaknya berputar kesana-kemari, tapi belum ia temukan kalimat yang tepat untuk menjadi jawaban pasti. Ia rasa diam adalah jawaban yang paling tepat sebenarnya. Karena yang benar seringkali tidak butuh kata untuk mewakilinya. Karena yang benar sudah terlalu jauh untuk dikejar. Karena yang benar sudah ia abadikan menjadi rangkaian ejaan, hidup didalam agenda merahnya. Atau dalam lipatan origami kertas yang memenuhi kamarnya. Bukan untuk diumbar kemana-mana, cukup ada dalam dunianya saja. Ia tatap belasan origami diatas mejanya, membayangkan mereka terbang dan membawa setiap kisahnya pada dunia, atau membawanya terbang dari ruangan sempit dengan kursi tua dan meja kayu yang membosankan.





Tapi lamunannya sudah terlalu jauh dari nyata yang ada, kalimat untuk menjadi jawab tidak juga ia temukan. Tanpa ia sadar, gadis cantik itu telah berada dihadapnya, berlutut menatapnya dengan iba, mengusap tetesan-tetesan air hangat yang mengalir diwajah tuanya.

“Kenapa ibu menangis..?” tanyanya tak tega.
“Saya hanya…sedang tidak waras waktu itu.” Jawabnya sekenanya. Sambil buru-buru memalingkan wajah dan membersihkannya dari airmata. Berharap sang gadis bosan dan segera pergi meninggalkannya.
Sang gadis kemudian berdiri, menyadari ketidaknyamanan wanita itu. Ia tidak serta merta pergi, diambilnya sebuah origami sembari berjalan kehadap jendela, matanya menatap jauh pada pemandangan diluar sana. Kumpulan anak kecil yang dengan riangnya bermain, berkejaran tanpa beban.

“Saya tidak tau seberapa waras diri ibu saat ini, tapi tulisan-tulisan ibu menjelaskan banyak hal yang membuat saya penasaran, saya hanya ingin ibu sedikit berbagi…” katanya pasti, meyakinkan si wanita agar mau bicara.
“Saya...tidak ada yang perlu saya bagi pada siapapun. Saya bahagia seperti ini.” Jawab si wanita tanpa basa-basi. Berusaha terlihat baik-baik saja. Bertahan dengan sikap dinginnya yang penuh sandiwara.

Ya, sandiwara yang ia mainkan sejak ia berada ditempat ini. Jauh dari sifat aslinya yang ceria, hangat, dan penuh semangat. Ia sudah jarang sekali berbicara, Menulis dan Melamun lebih ia sukai dibanding berbincang menceritakan apa yang ia rasa. Biar saja ia simpan segala ekspresi tentang dirinya, tentang bahagia & kesakitan masalalunya, tentang ketidaksukaan pada lingkungannya yang cenderung munafik, tentang segala yang ia lihat & rasakan dari dalam ruang ini setiap harinya, atau tentang harapannya yang tidak pernah mati, ejaan yang selalu ia rawat didalam agenda merahnya, atau dalam origami-origaminya, atau dalam lamunannya. Dengan setia, dihadap keramaian yang ada jauh diseberang jendela, ia tersenyum menatap kebahagiaan manusia lain, mensyukuri setiap nikmat dalam sisa hidupnya. Hingga setiap tanya yang ditujukan padanya, ia jawab dengan kalimat yang sama, “Saya hanya…sedang tidak waras waktu itu.” 

‘Waktu itu’, entah kapan berakhir dan bermulanya…



Sukoharjo,
02062013 : 2214


Tidak ada komentar:

Posting Komentar