Kamis, 23 Oktober 2014

dari RSDM ~


Bismillaahirrohmaanirrohiim.
Sudah hampir setengah jam kami duduk di kursi tunggu saat waktu menunjukkan pukul 10.40 WIB. Semakin siang rasa kantuk semakin menjadi, hingga akhirnya seorang lelaki 30-an tahun masuk dan mempersilakan kami duduk di depan mejanya. Ini dia yang kami tunggu, setelah berkali-kali keluar masuk kantor DikLit sejak sebulan lalu, baru hari ini kami bertemu dengannya, Ari Sutejo, ku baca nama dari co-card yang dipakainya. Kami sampaikan maksud kedatangan, kemudian beliau mulai mencari berkas penelitian kami.

Ya, hari itu aku dan bekti kembali ke RSUD Dr. Moewardi untuk mengurus izin penelitian (lagi). Ada dua orang pegawai DikLit yang mengurus izin kami, Dokter Aryo dan Pak Ari ini. Sebelum dibuatkan surat pengantar ke laboratorium, berkas kami di cek kelengkapannya oleh Dokter Aryo. Beliau lelaki yang ramah dan humoris, obrolan kami tidak hanya seputar izin penelitian, tapi juga tentang kuliah, pekerjaan dan sebagainya. Beliau juga memberi beberapa saran untuk kami. Alhamdulillah, bersyukur di awal sudah mendapat asupan semangat yang luar biasa…

Kembali ke meja Pak Ari, tak jauh beda awalnya kami ditanya beberapa hal tentang proposal yang kami ajukan, metode, hasil, data yang dicari, dan sebagainya. Setelah itu beliau basa-basi menanyakan asal daerah kami, berapa lama tinggal di solo, rencana setelah lulus kuliah, sampai……………

PA : “Kalau sudah jadi apoteker nanti, mau kerja di Rumah Sakit atau buka apotek sendiri mba?” tanya nya.
Aku : “Kalo kerja… maunya sih buka apotek sendiri pak” kataku PeDe.
PA : “alasannya?”
Aku: “Hmm… biar gak terikat aturan, sistem, kalo di RS jadi pegawai kan gitu pak, jam kerja diatur, pakaian diatur, gak bebas. Kalo punya apotek sendiri jadi lebih fleksibel jadwalnya apalagi saya perempuan…”
PA : “Oo, selain itu?” tanyanya lagi.
Aku : “Biar bisa buka lapangan kerja juga, sekarang kan sekolah & fakultas farmasi uda banyak banget pak…”
PA : “Ada pertimbangan lain lagi mba?” tanyanya penasaran.
Aku : “Yaa apalagi saya kan perempuan pak, nantinya akan jadi Istri, Ibu, udah punya tanggungjawab sendiri dirumah”
PA : “Alasan terpenting sebenernya yang terakhir itu mba, njenengan kan nanti bakal menikah, bakal jadi Ibu, dan perempuan memang punya tanggung jawab yang besar untuk keluarganya, anak-anaknya. Rosululloh juga kan sudah menjelaskan tentang itu…
Perempuan yang udah jadi sarjana, bukan berarti harus kerja kan mba? Ibu yang sarjana itu jauh lebih baik dari ibu yang gak sarjana, karena punya ilmu lebih untuk ngajarin anak-anaknya nanti. Anak pertama kali belajar kan dari ibunya tho bukan yang lain. Lagipula Ibu Rumah Tangga juga kan profesi mba, bahkan lebih sibuk daripada apoteker di apotek/rumah sakit lho. Kalo pegawai jam kerjanya cuma dari pagi ampe sore, tapi kalo IRT jam kerjanya fulltime mba, dari mata melek sampe mata merem lagi, ya ngurus rumah, suami, anak…” 

Hmm, aku mencerna kata-katanya, rupanya itu inti yang ingin beliau sampaikan, aku meng-iyakan. Sepakat. Bahwa ALLOH mencipta makhluk dengan kodrat yang sudah disesuaikan dengan jenisnya, manusia, jin, syetan, malaikat, hewan, semua punya tugas masing-masing yang akan kacau jadinya bila saling mencampuri urusan yang lain. Begitu pula manusia baik lelaki maupun perempuan, masing-masing sudah punya hak dan kewajiban, tugas mulia yang harus dikerjakan selama tinggal di bumi ALLOH yang sementara ini. Dan jika ditukar, maka dunia akan jadi kacau.




Mengutip kata Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baaz rohimahullah: “ISLAM menetapkan masing-masing dari suami dan istri memiliki kewajiban yang KHUSUS agar keduanya menjalankan perannya masing-masing  sehingga sempurnalah bangunan masyarakat di dalam dan di luar rumah. Suami berkewajiban mencari nafkah dan penghasilan sedangkan istri berkewajiban mendidik anak-anaknya, memberikan kasih sayang, menyusui dan mengasuh mereka, serta tugas-tugas lain yang sesuai baginya seperti mengajar anak-anak perempuan, mengurusi sekolah mereka, dan mengobati mereka serta pekerjaan lain yang khusus bagi kaum wanita. Bila wanita sampai meninggalkan kewajiban dalam rumahnya, berarti ia telah menyia-nyiakan rumah serta para penghuninya. Hal tersebut dapat menyebabkan kerusakan dalam keluarga baik secara hakiki maupun maknawi.” (Khatharu Musyarakatil Mar’ah li  Rijal fil Maidanil Amal).

Benar bahwa karier utama seorang wanita adalah Ibu Rumah Tangga, meski ruang kerjanya hanya di dalam rumah, tapi dampak & tanggungjawabnya tidak hanya untuk penghuni rumah tersebut tapi juga berpengaruh bagi lingkungan bahkan bagi negeri tempatnya tinggal. Seperti yang dikatakan Hafizh Ibrahim dalam syairnya,Ibu adalah madrasah, lembaga pendidikan, jika anda mempersiapkannya dengan baik, maka anda telah mempersiapkan bangsa yang baik.”

Maha Besar ALLOH yang telah memuliakan makhluk bernama wanita sedemikian rupa. Saat banyak wanita yang khawatir ‘kekurangan’ uang bulanan karena tidak bekerja, tapi segelintir sholihah percaya bahwa ALLOH akan mengalirkan rizkinya lewat kerja keras sang suami mencari nafkah. Saat banyak wanita menganggap bahwa menjadi (hanya) Ibu Rumah Tangga sama dengan pengangguran, tapi para sholihah disana sadar bahwa pahala dan ridho Robb-nya bisa mereka capai dengan (hanya) tinggal dirumah mengurus segala yang menjadi kewajibannya. Mereka bangga menjadi ibu rumah tangga, karena jabatan tertinggi seorang wanita adalah menjadi istri untuk suami dan menjadi ibu untuk anak-anaknya. Iman lah pondasi yang menguatkan keyakinan mereka bahwa aturan ALLOH pasti baik adanya. Karena janji ALLOH adalah PASTI…

Ya, Pak Ari mengingatkan ku tentang ini, kewajiban utama seorang wanita dalam perannya menjadi istri & ibu di masa depan nanti. Setelah pertemuan itu, kami juga sempat berdiskusi tentang aqidah, hijab, pergaulan remaja, dan sebagainya. Alhamdulillah, satu manfaat kembali ALLOH selipkan dalam hari-hari ku yang padat. Terimakasih ALLOH untuk setiap nikmat ‘kesadaran’ yang selalu ENGKAU berikan. Semakin bertambah ilmu, semakin ku sadar betapa bodohnya diri ini. Semakin tau yang benar, semakin diri sadar betapa hidup penuh dengan kesalahan…

RSDM, 18 Agustus 2014
Sampai bertemu lagi, Pak Ari [bijak] :)

For "US" --> S. Farm

Bismillahirrohmaanirrohiim...
Makin hari saya makin paham, bahwa NGE-LAB bukan sekedar MASUK LAF, STREAKPLATE, UJI, lalu PULANG. Lebih dari itu, NGE-LAB berarti SAYA HARUS CEK apa media yang akan dipakai masih ada? apa disk antibiotik masih ada? apa cawan petri & tabung yang akan dipakai sudah steril? apa ada alat-alat kotor yang harus dicuci? apa persediaan sabun, alkohol, spiritus, hand gloves & masker masih cukup? apa ada teman yang butuh bantuan saya? apa ada tugas yang belum saya penuhi? #THINK

Makin hari saya makin paham, bahwa NGE-LAB bukan lagi tentang SAYA, tapi tentang KITA. bukan hanya "bagaimana saya besok?" tapi juga "bagaimana mereka besok?" BERFIKIR & MEMPERSIAPKAN tidak hanya untuk diri sendiri tapi juga untuk partner satu TIM. menumbuhkan rasa PEKA & PEDULI, selelah & sepenat apapun otak & hati. karena egois sudah TIDAK BERLAKU disini.

Makin hari saya makin paham, bahwa DI DALAM LAB tidak hanya ada SAYA, tapi banyak manusia lainnya. maka berarti saya harus menjadi TEMAN bagi mereka, membuat mereka nyaman berada SATU LAB DENGAN SAYA. bukan menjadi orang asing yang datang & pergi hanya untuk diri sendiri. begitu juga banyak alat & barang yang HARUS SAYA JAGA. baik milik sendiri maupun orang lain. MEJA, KURSI, KOMPOR, LAP, SABUN, PAPAN, KULKAS, GUNTING, LABEL, UANG, dan lain sebagainya, yang mau tidak mau menjadi TANGGUNG JAWAB saya, dan pada akhirnya semua barang itu menjadi "teman" penelitian saya.




Makin hari saya makin paham, bahwa SKRIPSI melatih diri saya menjadi MANDIRI DI DALAM TIM. bukan malah -selalu- mengandalkan teman satu TIM. merencanakan apa yang AKAN saya kerjakan esok? apa yang BELUM beres hari ini? apa yang SALAH kemarin? kemudian merefleksikan kesemuanya menjadi KEKUATAN baru untuk hari selanjutnya, agar LANGKAH LEBIH MANTAP. Mengatur & menyiapkan planning sendiri, mencari ide & inovasi sendiri, baru kemudian berbagi pada TIM, berdialog mencari jalan & cara yang PALING BAIK untuk kesuksesan bersama.

SKRIPSI berari BEKERJA KERAS, dan menjadi TIM berarti BEKERJA SAMA. dua-duanya harus saya jalankan sebagai individu & makhluk sosial.

Makin hari saya makin paham, bahwa energi yang kita keluarkan -baik positif atau negatif- SANGAT BERPENGARUH pada SEMANGAT & KINERJA skripsi. maka berarti saya harus PAKSA DIRI menahan emosi, menjadi sebaik-baik DIRI SAYA untuk TIM ini. menularkan hanya yang BAIK dan meredam semua keburukan diri, jangan sampai TIM terpengaruh buruk hanya karena SAYA. menjaga bukan hanya SEMANGAT SAYA, tapi juga SEMANGAT KITA. sulit memang, tapi BERUSAHA akan membuat kita lebih punya harga dibanding hanya DIAM SAJA.

Makin hari saya makin paham, bahwa dibalik semua KEBERHASILAN & KEGAGALAN dalam SKRIPSI ini, dari awal pembuatan JUDUL sampai SIDANG nanti, ADA ALLOH yang selalu mengontrol SETIAP SAAT. MENGKOORDINIR setiap kebutuhan saya, MEMBANTU setiap kesulitan saya, MENEGUR setiap kelalaian saya, MENGABUL sekecil apapun do'a yang saya panjatkan. maka berarti DO'a tidak boleh berhenti. SABAR, SYUKUR, dan IKHLAS menjadi kunci mutlak dari KESUKSESAN yang saya harapkan. meminta pada ALLOH agar senantiasa membimbing saya untuk dapat menjadi SEBAIK-BAIKNYA DIRI SAYA dalam proses ini, dalam TIM ini.

Makin hari saya makin paham, bahwa SKRIPSI = BELAJAR, maka saya harus mengambil sebanyak-banyaknya ILMU dan KEBAIKAN dari PROSES ini, dari TIM ini. dan membuang setiap keburukan yang nampak. karena sudah lumrah, bahwa setiap kejadian pasti ada HIKMAH yang ALLOH simpan dibaliknya. tinggal bagaimana SAYA, akan mengambil hikmah tersebut atau meninggalkannya? menjadi orang yang beruntung atau merugi? THAT'S MY CHOICE.

because WE ARE A TEAM, So please BE CARE.
This is not only about "I" but also about "THEM"
not "YOUR bussines" but "OUR bussines"
MARI BEKERJA BERSAMA, BELAJAR BERSAMA, LELAH BERSAMA, PUSING BERSAMA, lalu kemudian SUKSES BERSAMA...

jangan pernah RAGU, MALU, atau TAKUT untuk menegur & mengingatkan saya. begitupun saya, lewat pesan ini semoga bisa MENEGUR teman-teman semua dengan hikmah. karena sesungguhnya SEDIKIT kalimat diatas adalah sebuah RENUNGAN dan TAMPARAN untuk diri saya sendiri, agar bisa BERUBAH lebih baik. ALLOH yang Maha Benar, mohon maaf untuk khilaf & dosa saya...

Sukoharjo, 19 Oktober 2014,
Untuk KITA, Tim Skripsi POLA KUMAN RSDM,
Baarokallohufiikum :)

Fabi Ayyi Alaa I Robbikumaa Tukadzdzibaan ?


Bismillaahirrohmaanirrohiim.
Senin, 20 Oktober 2014. Adzan maghrib belum berkumandang saat ku langkahkan kaki (kembali) ke sini, meski waktu sholat masih beberapa menit lagi, tapi dengan mantap aku memilih berhenti. Belum ada jama’ah yang datang, hanya terlihat dua orang lelaki sedang membersihkan lantai. Aku cuek saja masuk, dengan mengucap permisi tentunya. Ini kali ketiga aku ‘mampir’, jadi teringat saat pertama kali aku sampai disini…

Waktu itu akhir September, pilihan yang tepat untuk ku hentikan langkah. Aku sedang ingin menghilang dari segala hal yang datang mengejar, atau menjauh dari apapun yang sedang menunggu dengan setumpuk beban baru. Rupanya ALLOH kabulkan, dan sengaja memberi waktu untuk lelah ini berkurang. Memang emosi tak bisa dipaksa terus bertahan, maka berhenti adalah pilihan yang tepat sekali. Saat otak yang penat butuh disegarkan, saat hati yang futur butuh diingatkan, saat jiwa yang angkuh butuh disadarkan. Melanjutkan langkah hanya akan menambah kacau di hati, kacau di jiwa. Sendiri ini lah yang dibutuhkan, karena nurani sudah berteriak tentang kerinduan pada Robb-nya, maka menjadi asing adalah hal yang selalu menyenangkan, menenangkan, karena aku bisa bebas berbincang dengan Robb-ku. Aku bisa bebas menjadi siapa saja yang aku mau, untuk Robb-ku…

Langkah sore itu begitu berat karena lelah & penat yang menumpuk jadi satu, terakumulasi di dalam hati & otak, entah sudah berapa lama mengendap, berubah menjadi kronis dan menggerogoti optimisme juga semangat yang ada. Hati berteriak, minta diobati…

Hari itu aku pulang terlambat, sampai adzan maghrib berkumandang, belum juga setengah jalan aku habiskan. Meski ragu di awal, akhirnya aku berhenti di sebuah masjid yang cukup besar. Masjid ini sering aku lewati, tak peduli pagi siang sore atau malam ku lihat masjid ini tak pernah sepi. Mungkin karena tempat & suasananya yang nyaman. Ku ambil wudhu dan masuk ke dalam, jama’ah pria cukup ramai memenuhi hampir seluruh shaf yang ada. Jama’ah wanita tak kalah ramai, hampir semuanya ibu-ibu setengah baya dan sisanya anak-anak. Aku mengambil tempat diantara 2 ibu yang ramah, kami sempat berbincang, basa-basi…

Aku larut dalam kelelahan, larut menyerap ayat-ayat yang imam lantunkan. Berusaha khusyu untuk ‘bertemu’ dengan Robb yang ku rindukan. Selesai sholat akal mulai berpikir kesana-kemari, berada diantara orang-orang yang entah siapa membuatku lebih objektif dalam menilai. Ibu-ibu di kanan-kiri ku usianya mungkin sudah hampir setengah abad atau bahkan lebih, tapi aku salut, mereka masih semangat untuk pergi ke masjid, selelah & selemah apapun adanya diri mereka. Meski sebenarnya wanita tidak diwajibkan untuk sholat berjama’ah meninggalkan rumah.

Moment yang tepat, rupanya malam itu ada pengajian rutin selepas maghrib. Pikir ku, “daripada pulang sekarang, sepertinya lelah belum banyak berkurang. Mending sekalian saja aku ‘kabur’ untuk ikut pengajian, sholat isya berjama’ah, barulah pulang. Tak masalah sedikit lebih larut, setidaknya hati sudah jauh lebih tenang, Alhamdulillah…” Pengajian akan segera dimulai, jama’ah pria pindah ke ruangan disebelah kiri masjid untuk mengikuti kajian, sedangkan jama’ah wanita tetap pada tempatnya, memasang telinga untuk mendengarkan setiap ilmu yang disampaikan. 

”Disini pengajiannya rutin dik, setiap senin, rabu & kamis malam, ikutan aja. Ada tahsin, hadits & tafsir qur’an. Kalo hadits yang ngisi ustadz dari klaten…” kata Ibu di sebelah ku memberitahu. Aku mengangguk dan mengiyakan, “Enjeh Bu, InsyaaALLOH…” kemudian kami lanjutkan perbincangan, tentang idul adha yang akan segera datang, tentang kuliah, juga tentang kegiatan kami sehari-hari. “Ngantuk dik, dari pagi sibuk ngerjain ini, ngerjain itu. Sampai tadi jam 5 sore baru selesai, maunya sih tidur tapi tanggung maghrib.” Aku tersenyum & memberi tanggapan sekedarnya. Bukan hal yang aneh bahwa ibu rumah tangga pasti akan bekerja full time setiap hari, mengerjakan segala macam tetek-bengek yang menjadi tanggung jawabnya. They are SuperMom! Ya, Ibu dihadapanku ini memang sudah tidak muda lagi. Begitu pula ibu-ibu lain yang sholat berjama’ah dan mengikuti pengajian kebanyakan sudah lanjut usia. Tapi begitulah, toh mereka semangat-semangat saja untuk berjalan ke masjid meski dengan kaki yang lemah, duduk mendengarkan ilmu meski mata sudah tak sanggup lagi, ikut berdiri dibelakang imam dengan segenap do’a dalam ibadahnya…

Aku merenung, dulu mereka pernah muda sepertiku, dan aku pun pasti akan menjadi tua seperti mereka. Tapi apakah usiaku nanti akan diisi dengan benar-benar beribadah kepada ALLOH atau tidak, itu semua tergantung padaku. Lalu berpikir, saat nanti aku seusia mereka, saat termenung, apakah aku akan mensyukuri hidup yang dekat dengan ALLOH atau menyesal karena hidup yang penuh kesia-siaan? Apakah aku akan menghabiskan sisa usia dengan berada di masjid mendengarkan tafsir qur’an? Apakah aku akan tetap semangat mencari ilmu dan berdakwah untuk ALLOH seperti yang mereka lakukan? Satu demi satu hal muncul menjadi renungan, lalu hati otomatis mengintrospeksi setiap amalan selama ini, kehinaan…

Sholat maghrib kali ini menjadi cambuk untuk semangat ku yang belakangan kian melemah, ALLOH memberi kesempatan di waktu & tempat yang tepat untuk ku ‘berkaca’. Membandingkan diri yang masih kuat ini dengan mereka para SuperMom yang sudah tak muda lagi. Malu pada ALLOH, fisik yang selalu sehat & kebutuhan yang selalu dicukupi tapi ungkapan syukur seringkali terlupa, atau dilupa. Mengeluh lebih banyak padahal lelah tak seberapa, menggerutu saat hidup sedikit saja dirasa tak nyaman, padahal hanya sekecil cobaan yang ALLOH sisipkan. Bagaimana jika nanti aku sudah selemah mereka? Saat semua organ tubuh sudah berkurang fungsinya, apa mengeluh masih berlaku untuk hari-hari indah yang ALLOH berikan? apa futur masih layak atas nikmat nafas & nyawa yang ALLOH jaga?

“Berbincang” dengan ALLOH, bertanya, mengadu, memohon, menikmati setiap sesal yang menyakitkan, menghempas setiap lelah yang dunia berikan, membandingkan kualitas diri dengan mereka orang-orang beriman, memanfaatkan ‘sendiri’ ini untuk menginstall hati, akal, serta jiwa. Setidaknya beberapa hal bisa aku bawa pulang, oleh-oleh dari keterlambatan setelah lelah & penat yang luar biasa. Kun fayakun. Semudah menjentikkan jari, ALLOH lepaskan semua beban yang ada dengan membiarkan ku belajar pada realita. Bahwa dunia ini kejam, maka jangan pernah mau untuk dikalahkan. Bahwa dunia ini licik, maka jangan pernah mau dibodohi. Bahwa dunia ini sempit, maka jangan sampai diri kita terhimpit. Bahwa dunia ini adalah penjara bagi orang-orang beriman, maka semoga ALLOH izinkan kita terbebas darinya dan memasukkan kita kedalam surgaNYA…




Rabu, 22 Oktober 2014. Imam sedang membaca Al-Fatihah saat aku sampai, benar saja aku terlambat. Buru-buru ku ambil wudhu & bergegas masuk kedalam. Shaf jama’ah penuh seperti biasanya, alhamdulillah. Kajian tafsir qur’an malam ini membahas azab-azab ALLOH yang pernah ditimpakan pada umat terdahulu, tentang fir’aun, kaum ‘adn, dan lain sebagainya. Aku mendengarkan sambil sesekali mencatat apa yang harus dicatat, ditemani kawan-kawan baruku, Aulia, Ida, Salma dan Salsa. Gadis-gadis cilik yang rajin sholat berjama’ah dan mengikuti kajian. Tapi malam itu ada yang mengalihkan pandanganku, saat sedang memperhatikan layar LCD yang berisi materi, ku lihat seorang Bapak serius sekali menyimak. Bapak ber-koko putih dengan rambutnya yang juga sudah putih, berpeci dan berkacamata, memegang sebuah buku & pulpen ditangannya, sibuk menatap layar & mencatat apa yang dilihatnya, juga apa yang didengarnya. Berbeda dengan kebanyakan jama’ah lain yang malah asik mengobrol atau duduk lelah sambil terkantuk-kantuk. Lagi-lagi aku merasa ‘ditegur’, Bapak yang sudah sepuh saja masih semangat membuka hati & pikirannya untuk dapat menerima ilmu, padahal hari sudah larut. Bahkan Ia mencatat setiap ilmu tersebut, tak peduli orang disekelilingnya yang hanya duduk santai, entah mendengarkan atau tidak. Lalu otak refleks bertanya, bagaimana dengan 'saya'???

Kajian selesai, sholat isya juga usai, Alhamdulillah waktunya pulang. Ku lihat seorang pemuda –maaf- melompat dengan satu kakinya keluar, mengambil tongkat yang ia letakkan didekat pintu masuk, kemudian melanjutkan langkahnya meninggalkan masjid. Mungkin ini ‘teguran’ terakhir yang ALLOH suguhkan sebelum aku pulang… Sungguh ALLOH Maha Besar, betapa orang-orang beriman mencintai ENGKAU sampai kurangnya fisik pun tak jadi penghalang untuk mereka tunaikan kewajiban. Kalau sudah begini aku rasa diri jauh lebih ‘kurang’ dibanding mereka yang ‘kelihatannya’ lemah. Memang iman & taqwa adanya didalam hati, tak peduli usia, fisik, harta, jabatan, kemampuan, hanya ALLOH yang mengetahui kadar kemuliaan dari masing-masing hamba-NYA...

Sedikit cerita dari beberapa episode yang aku dapatkan di tempat ini, bersyukur ALLOH senantiasa ‘menegur’ ku dengan kuasa-NYA yang indah. Dan berharap episode demi episode indah lainnya datang mengisi kekosongan hati, menerangi jiwa dengan iman, menyuburkan syukur dalam renungan, hingga menjadikanku hamba yang selalu dicinta & dirindu oleh Robb-ku, selalu…

Ku langkahkan kaki dengan hati & pikiran yang lebih fresh, serasa habis di install… Awan mendung menemaniku pulang, melangkah habiskan jalanan…
Terimakasih ALLOH, aku cinta solo :)

Minggu, 20 April 2014

Cerita...

Bismillaahirrohmaanirrohiim,

Rintik hujan menutupi tetesan air hangat dipipinya malam itu. Tak peduli gelap & derasnya, ia pulang berharap hatinya akan lebih tenang. Masih sesak dadanya setelah mendengar apa yang Ibu katakan di telfon barusan. Forum rapat ia tinggalkan tanpa pamit sedikitpun…

Satu lagi cerita tentang perubahan, malam itu ia datang dengan mata berkaca-kaca, air hujan basahi jilbab & khimar lebarnya.
”Mba lagi sibuk yaa?” tanyanya sambil duduk lemas menyandar tembok.
I know there must be something wrong with her.
“engga kok de, mba cuma lagi beberes dikit…” Aku tinggalkan tumpukan materi yang berceceran, mendekatinya.
“Kamu kenapa? Ada masalah ya?” tanyaku basa-basi.
Tak menjawab, dia malah menangis tertahan.
“ayo sini ngobrol sama mba…” Ku ajak dia keluar, mencari tempat yang lebih ‘aman’ untuk lepaskan semua sesaknya.

Kami duduk diatas karpet hijau, rintik hujan masih bernyanyi riang dengan nadanya yang khas, menjadi backsound obrolan kami malam itu. Aku lihat matanya sembab, sesenggukan dia membagi bebannya. Dia seorang akhwat yang luar biasa, aktivis, cantik, supel, berkarakter, percaya diri, kini lemah karena usahanya untuk menyempurnakan hijab ‘dipermasalahkan’. Bukan oleh siapa-siapa, tapi oleh keluarganya sendiri. Saat khimar lebar dianggap macam-macam, rok & gamis dianggap tak wajar, perbaikan akhlak dianggap ekstrim, organisasi dakwah dicurigai sesat. Astaghfirullohal’adziim, begitulah pandangan masyarakat tentang ISLAM yang sudah semakin sempit, semakin licik, begitu mudahnya meng-iya-kan kabar-kabar fitnah yang bertebaran tanpa dasar. Sedih rasanya, betapa dia sayang keluarga apalagi orangtuanya, ingin mereka bangga punya anak gadis yang baik, cerdas, dan taat menutup aurat. tapi pengaruh “bisik-bisik tetangga” membuat ayah & ibunya malah khawatir akan perubahan yang dijalani anaknya, saat jeans ditinggalkan, kain paris ditinggalkan, berubah gamis, rok, dan khimar lebar yang dinilai tak biasa. Khawatir anaknya ikut “yang macam-macam”, khawatir anaknya ikut paham “sesat” yang entah darimana fatwa sesatnya datang. Wallahu a’lam.

Malam belum begitu larut meski hujan sudah mulai mereda, tapi airmata akhwat satu ini belum juga habis. Wajahnya yang letih, sedih, bingung, bersatu dengan pertanyaan demi pertanyaan yang muncul menggugurkan kepercayaan diri. Berharap dukungan orangtua hadir menjadi motivasi perbaikan, tapi ALLAH malah jadikan keduanya sebagai ujian, akan tetap istiqomah kah menuju ketaatan? Sedikit banyak kami berbincang, hingga diujung banyak hal yang aku sadari benar dan salahnya. Inilah ikhtiar seorang anak yang tengah memahamkan orangtuanya tentang syari’at, meyakinkan orangtuanya bahwa sang anak baik-baik saja dalam lingkungan yang mendukung perbaikannya, mempertahankan prinsip barunya dalam berbusana dan berkelakuan. Sempat latah aku meneteskan airmata mendengar setiap cerita. Sekilas terbayang wajah babeh, ibu, teteh, acung. Bersyukur didalam hati, ALLAH anugerahkan mereka sebagai keluarga yang senantiasa mendukung perubahan ini…


Semakin larut udara hendak mengakhiri perbincangan kami, sedikit masukan semoga menjadi nasihat baik & bermanfaat untuknya. Kami menyeka airmata bersama, tersenyum, kemudian peluk erat menutup segala ketidaknyamanan malam itu, berharap sesaknya beban perlahan mereda, berubah menjadi optimis & semangat istiqomah dijalan-NYA…

Ya, jalan menjadi lebih baik memang akan sulit, seorang wanita harus punya tenaga ekstra untuk menguatkan dirinya sendiri dalam proses ini, melawan banyak sikap & ucapan yang menyakitkan, menahan diri dari berbagai nafsu duniawi yang merugikan, juga menjawab setiap tanya dan keraguan tentang usaha ketaatannya. Karena tidak gampang mempertahankan istiqomah ditengah fitnah dunia yang luarbiasa menyeramkan. Wanita tidak bisa hanya diam saja, tapi wanita juga tidak perlu terlalu banyak bicara, semua tetap sesuai porsi kebutuhan, kaji Al-Qur’an & Hadits, belajar & bergaul dengan wanita-wanita sholihah, melek berbagai informasi, beranikan diri untuk amar ma’ruf nahi munkar, buktikan pada dunia bahwa muslimah yang ta’at, kebaikannya bukan hanya untuk diri sendiri, tapi juga untuk keluarga, teman, lingkungan, serta masyarakat pada umumnya…

Apalagi saat cobaan datangnya dari keluarga  sendiri, mungkin akan lebih sulit dibanding melawan ocehan-ocehan orang diluar sana. Disaat yang bersamaan harus menjaga prinsip serta menjaga sikap, jangan sampai niat baik, ilmu yang baik, disampaikan dengan cara yang salah dan menyinggung hati orangtua, apalagi sampai memperburuk suasana rumah. Karena bagaimanapun orangtua selalu mengharapkan yang terbaik bagi anak-anaknya walau kadang cara mereka menyebalkan menurut kita. Begitu pula ketika memahami satu hal, karena ilmu yang diajarkan pada mereka dulu bisa jadi berbeda dengan ilmu yang kita dapatkan sekarang, maka metode memberi pemahaman pada mereka pun jangan disamakan dengan memberi pemahaman pada teman. Selama niat kita ikhlas demi mendapat ridho ALLAH, moga segala kebaikan yang disampaikan diberi kemudahan & keberkahan. Hubungan dengan keluarga semakin baik, akhlak semakin baik, pun menebar ilmu ALLAH berharap dunia bisa lebih baik. Allahumma aamiin...

Teruntuk kalian para akhwat pejuang syari'at, sahabat dijalan ALLAH...
karena dakwah tidak akan semudah menghabiskan waktu, karena dunia adalah penjara bagi orang beriman, maka siapkan jiwa kalian untuk hadapi kesakitan, hindarkan diri dari berkeluh kesah, lakukan apa yang ALLAH perintahkan, tinggalkan perkara-perkara dunia yang kan membawamu ke neraka, Hidup untuk ALLAH, mati dijalan ALLAH. Sampai berjumpa dalam syurga-NYA kelak :)

Wallahu a’lam bishowab...