Kamis, 23 Oktober 2014

Fabi Ayyi Alaa I Robbikumaa Tukadzdzibaan ?


Bismillaahirrohmaanirrohiim.
Senin, 20 Oktober 2014. Adzan maghrib belum berkumandang saat ku langkahkan kaki (kembali) ke sini, meski waktu sholat masih beberapa menit lagi, tapi dengan mantap aku memilih berhenti. Belum ada jama’ah yang datang, hanya terlihat dua orang lelaki sedang membersihkan lantai. Aku cuek saja masuk, dengan mengucap permisi tentunya. Ini kali ketiga aku ‘mampir’, jadi teringat saat pertama kali aku sampai disini…

Waktu itu akhir September, pilihan yang tepat untuk ku hentikan langkah. Aku sedang ingin menghilang dari segala hal yang datang mengejar, atau menjauh dari apapun yang sedang menunggu dengan setumpuk beban baru. Rupanya ALLOH kabulkan, dan sengaja memberi waktu untuk lelah ini berkurang. Memang emosi tak bisa dipaksa terus bertahan, maka berhenti adalah pilihan yang tepat sekali. Saat otak yang penat butuh disegarkan, saat hati yang futur butuh diingatkan, saat jiwa yang angkuh butuh disadarkan. Melanjutkan langkah hanya akan menambah kacau di hati, kacau di jiwa. Sendiri ini lah yang dibutuhkan, karena nurani sudah berteriak tentang kerinduan pada Robb-nya, maka menjadi asing adalah hal yang selalu menyenangkan, menenangkan, karena aku bisa bebas berbincang dengan Robb-ku. Aku bisa bebas menjadi siapa saja yang aku mau, untuk Robb-ku…

Langkah sore itu begitu berat karena lelah & penat yang menumpuk jadi satu, terakumulasi di dalam hati & otak, entah sudah berapa lama mengendap, berubah menjadi kronis dan menggerogoti optimisme juga semangat yang ada. Hati berteriak, minta diobati…

Hari itu aku pulang terlambat, sampai adzan maghrib berkumandang, belum juga setengah jalan aku habiskan. Meski ragu di awal, akhirnya aku berhenti di sebuah masjid yang cukup besar. Masjid ini sering aku lewati, tak peduli pagi siang sore atau malam ku lihat masjid ini tak pernah sepi. Mungkin karena tempat & suasananya yang nyaman. Ku ambil wudhu dan masuk ke dalam, jama’ah pria cukup ramai memenuhi hampir seluruh shaf yang ada. Jama’ah wanita tak kalah ramai, hampir semuanya ibu-ibu setengah baya dan sisanya anak-anak. Aku mengambil tempat diantara 2 ibu yang ramah, kami sempat berbincang, basa-basi…

Aku larut dalam kelelahan, larut menyerap ayat-ayat yang imam lantunkan. Berusaha khusyu untuk ‘bertemu’ dengan Robb yang ku rindukan. Selesai sholat akal mulai berpikir kesana-kemari, berada diantara orang-orang yang entah siapa membuatku lebih objektif dalam menilai. Ibu-ibu di kanan-kiri ku usianya mungkin sudah hampir setengah abad atau bahkan lebih, tapi aku salut, mereka masih semangat untuk pergi ke masjid, selelah & selemah apapun adanya diri mereka. Meski sebenarnya wanita tidak diwajibkan untuk sholat berjama’ah meninggalkan rumah.

Moment yang tepat, rupanya malam itu ada pengajian rutin selepas maghrib. Pikir ku, “daripada pulang sekarang, sepertinya lelah belum banyak berkurang. Mending sekalian saja aku ‘kabur’ untuk ikut pengajian, sholat isya berjama’ah, barulah pulang. Tak masalah sedikit lebih larut, setidaknya hati sudah jauh lebih tenang, Alhamdulillah…” Pengajian akan segera dimulai, jama’ah pria pindah ke ruangan disebelah kiri masjid untuk mengikuti kajian, sedangkan jama’ah wanita tetap pada tempatnya, memasang telinga untuk mendengarkan setiap ilmu yang disampaikan. 

”Disini pengajiannya rutin dik, setiap senin, rabu & kamis malam, ikutan aja. Ada tahsin, hadits & tafsir qur’an. Kalo hadits yang ngisi ustadz dari klaten…” kata Ibu di sebelah ku memberitahu. Aku mengangguk dan mengiyakan, “Enjeh Bu, InsyaaALLOH…” kemudian kami lanjutkan perbincangan, tentang idul adha yang akan segera datang, tentang kuliah, juga tentang kegiatan kami sehari-hari. “Ngantuk dik, dari pagi sibuk ngerjain ini, ngerjain itu. Sampai tadi jam 5 sore baru selesai, maunya sih tidur tapi tanggung maghrib.” Aku tersenyum & memberi tanggapan sekedarnya. Bukan hal yang aneh bahwa ibu rumah tangga pasti akan bekerja full time setiap hari, mengerjakan segala macam tetek-bengek yang menjadi tanggung jawabnya. They are SuperMom! Ya, Ibu dihadapanku ini memang sudah tidak muda lagi. Begitu pula ibu-ibu lain yang sholat berjama’ah dan mengikuti pengajian kebanyakan sudah lanjut usia. Tapi begitulah, toh mereka semangat-semangat saja untuk berjalan ke masjid meski dengan kaki yang lemah, duduk mendengarkan ilmu meski mata sudah tak sanggup lagi, ikut berdiri dibelakang imam dengan segenap do’a dalam ibadahnya…

Aku merenung, dulu mereka pernah muda sepertiku, dan aku pun pasti akan menjadi tua seperti mereka. Tapi apakah usiaku nanti akan diisi dengan benar-benar beribadah kepada ALLOH atau tidak, itu semua tergantung padaku. Lalu berpikir, saat nanti aku seusia mereka, saat termenung, apakah aku akan mensyukuri hidup yang dekat dengan ALLOH atau menyesal karena hidup yang penuh kesia-siaan? Apakah aku akan menghabiskan sisa usia dengan berada di masjid mendengarkan tafsir qur’an? Apakah aku akan tetap semangat mencari ilmu dan berdakwah untuk ALLOH seperti yang mereka lakukan? Satu demi satu hal muncul menjadi renungan, lalu hati otomatis mengintrospeksi setiap amalan selama ini, kehinaan…

Sholat maghrib kali ini menjadi cambuk untuk semangat ku yang belakangan kian melemah, ALLOH memberi kesempatan di waktu & tempat yang tepat untuk ku ‘berkaca’. Membandingkan diri yang masih kuat ini dengan mereka para SuperMom yang sudah tak muda lagi. Malu pada ALLOH, fisik yang selalu sehat & kebutuhan yang selalu dicukupi tapi ungkapan syukur seringkali terlupa, atau dilupa. Mengeluh lebih banyak padahal lelah tak seberapa, menggerutu saat hidup sedikit saja dirasa tak nyaman, padahal hanya sekecil cobaan yang ALLOH sisipkan. Bagaimana jika nanti aku sudah selemah mereka? Saat semua organ tubuh sudah berkurang fungsinya, apa mengeluh masih berlaku untuk hari-hari indah yang ALLOH berikan? apa futur masih layak atas nikmat nafas & nyawa yang ALLOH jaga?

“Berbincang” dengan ALLOH, bertanya, mengadu, memohon, menikmati setiap sesal yang menyakitkan, menghempas setiap lelah yang dunia berikan, membandingkan kualitas diri dengan mereka orang-orang beriman, memanfaatkan ‘sendiri’ ini untuk menginstall hati, akal, serta jiwa. Setidaknya beberapa hal bisa aku bawa pulang, oleh-oleh dari keterlambatan setelah lelah & penat yang luar biasa. Kun fayakun. Semudah menjentikkan jari, ALLOH lepaskan semua beban yang ada dengan membiarkan ku belajar pada realita. Bahwa dunia ini kejam, maka jangan pernah mau untuk dikalahkan. Bahwa dunia ini licik, maka jangan pernah mau dibodohi. Bahwa dunia ini sempit, maka jangan sampai diri kita terhimpit. Bahwa dunia ini adalah penjara bagi orang-orang beriman, maka semoga ALLOH izinkan kita terbebas darinya dan memasukkan kita kedalam surgaNYA…




Rabu, 22 Oktober 2014. Imam sedang membaca Al-Fatihah saat aku sampai, benar saja aku terlambat. Buru-buru ku ambil wudhu & bergegas masuk kedalam. Shaf jama’ah penuh seperti biasanya, alhamdulillah. Kajian tafsir qur’an malam ini membahas azab-azab ALLOH yang pernah ditimpakan pada umat terdahulu, tentang fir’aun, kaum ‘adn, dan lain sebagainya. Aku mendengarkan sambil sesekali mencatat apa yang harus dicatat, ditemani kawan-kawan baruku, Aulia, Ida, Salma dan Salsa. Gadis-gadis cilik yang rajin sholat berjama’ah dan mengikuti kajian. Tapi malam itu ada yang mengalihkan pandanganku, saat sedang memperhatikan layar LCD yang berisi materi, ku lihat seorang Bapak serius sekali menyimak. Bapak ber-koko putih dengan rambutnya yang juga sudah putih, berpeci dan berkacamata, memegang sebuah buku & pulpen ditangannya, sibuk menatap layar & mencatat apa yang dilihatnya, juga apa yang didengarnya. Berbeda dengan kebanyakan jama’ah lain yang malah asik mengobrol atau duduk lelah sambil terkantuk-kantuk. Lagi-lagi aku merasa ‘ditegur’, Bapak yang sudah sepuh saja masih semangat membuka hati & pikirannya untuk dapat menerima ilmu, padahal hari sudah larut. Bahkan Ia mencatat setiap ilmu tersebut, tak peduli orang disekelilingnya yang hanya duduk santai, entah mendengarkan atau tidak. Lalu otak refleks bertanya, bagaimana dengan 'saya'???

Kajian selesai, sholat isya juga usai, Alhamdulillah waktunya pulang. Ku lihat seorang pemuda –maaf- melompat dengan satu kakinya keluar, mengambil tongkat yang ia letakkan didekat pintu masuk, kemudian melanjutkan langkahnya meninggalkan masjid. Mungkin ini ‘teguran’ terakhir yang ALLOH suguhkan sebelum aku pulang… Sungguh ALLOH Maha Besar, betapa orang-orang beriman mencintai ENGKAU sampai kurangnya fisik pun tak jadi penghalang untuk mereka tunaikan kewajiban. Kalau sudah begini aku rasa diri jauh lebih ‘kurang’ dibanding mereka yang ‘kelihatannya’ lemah. Memang iman & taqwa adanya didalam hati, tak peduli usia, fisik, harta, jabatan, kemampuan, hanya ALLOH yang mengetahui kadar kemuliaan dari masing-masing hamba-NYA...

Sedikit cerita dari beberapa episode yang aku dapatkan di tempat ini, bersyukur ALLOH senantiasa ‘menegur’ ku dengan kuasa-NYA yang indah. Dan berharap episode demi episode indah lainnya datang mengisi kekosongan hati, menerangi jiwa dengan iman, menyuburkan syukur dalam renungan, hingga menjadikanku hamba yang selalu dicinta & dirindu oleh Robb-ku, selalu…

Ku langkahkan kaki dengan hati & pikiran yang lebih fresh, serasa habis di install… Awan mendung menemaniku pulang, melangkah habiskan jalanan…
Terimakasih ALLOH, aku cinta solo :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar