Sabtu, 04 April 2015

"Ngumpulin Bekel Mbak"

Bismillaahirrohmaanirrohiim. 
22 Januari 2015. Sore itu dalam perjalanan pulang, langkah kaki aku sambi dengan lamunan, memikirkan hendak makan apa sebagai penutup hari. Maklum, sejak jadi anak kost -anyar-, setiap hari pasti muncul pertanyaan yang sama. Pagi, siang, sore, malam, “makan apa yaa?” Memang bosan rasanya mencari 2 sampai 3 jawaban berbeda untuk menjawab 1 pertanyaan yang itu-itu saja setiap hari. Tapi begitulah, pada akhirnya otak, lidah dan perut berkolaborasi menjadi “otomatis-kreatif” untuk dapat menentukan pilihan dalam waktu singkat #keren… Baru melewati belokan pertama, aku lihat gerobak mie ayam berwarna biru sedang parkir jauh di depan sana, rasa-rasanya familiar :v Ternyata benar, aku sering “papasan” dengan gerobak + bapak penjual mie ayam yang satu ini. Setiap kami berjumpa, entah saat aku sedang naik motor, gowes sepeda, atau jalan kaki, bapak penjual mie ayam pasti melihatku lalu tersenyum ramah ala “wong jowo”. Awalnya aku aneh, apa memang si bapak ini orangnya sangat-ramah-sekali ya? Atau mungkin sebenarnya itu ‘kode’ dari si bapak untuk menawarkan mie ayam padaku? #LOL :v Aku pun membalasnya dengan anggukan, senyuman atau kadang dengan sapaan walau hanya sekedar “monggo pak” -karena tidak tau sapaan jawa yang lain- lalu si bapak menjawab “njeh monggo mbak”…

Dan sore ini rupanya si gerobak biru + si bapak sedang parkir di daerah situ. Aku jadi penasaran, reflek aku putuskan bahwa menu makan sore ini adalah mie ayam #yey (y) Walau belum ada persetujuan dari lidah dan perut, tapi otakku sudah keburu mengetok palu tanda keputusan sudah final xD
“Pak, mie ayamnya satu dibungkus ya, gak usah pake kuah pak.”
“Oh iya mbak, keringan ya…” Ku lihat si bapak dengan gesit menyiapkan bumbu di mangkok selagi mie dan sayur direbus. Dan seperti biasa, jiwa kepo ku muncul. Wawancara pun dimulai.
“Bapak tinggalnya dimana pak?” tanya ku sksd.
“Ooh deket kok mbak daerah karangasem itu lho, sebelah situnya itu, sininya ini” (si bapak menyebutkan berbagai arah & tempat yang aku tidak tau dimana) -_-
“Ooh situ tho, yayaya…” kata ku sok paham, padahal cari cepat.
“Kalo mbaknya asli mana?” Si bapak ikutan kepo xD
“Saya aslinya cirebon pak, tapi tinggalnya di daerah masjid B situ.”
“Ooh, saya kalo ashar juga mangkal disitu mbak, pas jam sholat sekalian istirahat.”
“Ooiya pak, pantes kadang liat bapak disitu. Ini bapak kalo pulang jam berapa pak? Ampe malem ya dagangnya?”
“Yaa ini udah mau pulang kok mbak, pokoknya isya harus udah di rumah sama keluarga.”
“Waah sip sip pak.” Kata ku salut.
“Iyaa, jadi kalo dzuhur saya mampir di masjid A itu lho mbak, ashar saya di masjid B, terus ini nanti maghriban dulu di masjid C, baru pulang terus isya nya di rumah… Kan di masjid kadang suka ada ceramah mbak, yaa mampir-mampir… Ngumpulin bekel mbak, buat Mati.” Kata si bapak panjang X lebar X tinggi. Si bapak yang awalnya bicara sambil sibuk meracik dan membungkus mie ayam, entah kenapa saat sampai di kalimat terakhir membalikkan tubuhnya sambil menatapku. “Ngumpulin bekel mbak, buat Mati.” Kata-kata itu yang sampai sekarang masih selalu aku ingat, plus ekspresi wajah si bapak yang ramah, sederhana dan sangat jawa sekali.



Setelah prosesi “beli mie ayam” selesai, aku sempatkan basa-basi sebentar sebagai penutup wawancara dadakan sore itu, lalu pamit pada si bapak yang ternyata biasa dipanggil Pak De oleh orang-orang sekitar. Kali ini ku ucapkan salam karena tau bahwa si bapak muslim, “Salam’alaykum pak…” kata ku sambil mengangguk dan tersenyum.
“Wa-’a-lay-ku-mus-salam mbak” kata si bapak dengan sangat jelas. Tak lupa senyumnya berseri, gerobak biru pun ikut melambai melepas kepulanganku bersama sebungkus mie ayam #Lebay :v

Beberapa langkah setelah meninggalkan gerobak biru, aku habiskan jalanan sambil menunduk, kalimat pamungkas dari si bapak masih terngiang-ngiang di telinga hingga merangsang otak untuk berfikir dan merasuk ke hati untuk merenung. Ya ALLOH, si bapak saja masih ingat “bekel buat mati”, lalu aku??? Malu rasanya, sedih. Padahal beliau lelah mencari nafkah, keliling dengan gerobak andalan walau panas ataupun hujan, tapi rupanya rute dagang sudah ia atur agar saat masuk waktu sholat ia bisa mampir di masjid-masjid yang disebutkannya tadi. Keren si bapak ini. Walau fisiknya sedang sibuk dan lelah mengurus “bekel buat hidup” dengan gerobak mie ayam, tapi rupanya hati dan jiwa tidak lupa memikirkan “bekel buat mati”. Seimbang.

Kita bagaimana? Sudah begitu belum ya? Padahal untuk makan saja kita cuma tinggal “mikir dan milih” mau makan apa, tak perlu kesana-kemari mencari uang untuk beli, diberi tempat tinggal yang nyaman, bisa ibadah wajib dan sunnah dengan tenang, diberi banyak waktu untuk mencari ilmu, tapi seberapa sering sih kita ingat dengan “bekal-bekal” kita baik untuk hidup ataupun untuk mati? Boro-boro memikirkan bekal untuk mati, bahkan untuk hidup yang jelas ada di depan mata saja seringkali kita masih bingung mengambil langkah. Dengan bejibun fasilitas dunia yang ALLOH beri, rupanya kita malah menjadi lemah, belum bisa memilih bekal mana nih yang akan menyelamatkan hidup dan mati kita nanti? Bekal mana nih yang benar-benar bisa kita bawa sekaligus membawa kita ke dalam syurga hingga bertemu ALLOH SWT? Kita malah sibuk menyerobot banyak aksesoris dunia, mengumpulkan sampah, benalu, yang hanya memberatkan langkah kita dan menggiring kita ke neraka. Na’udzubillah! #Amit-amit!

Sore itu, alhamdulillah ALLOH memberikanku ilmu yang tidak mungkin aku dapatkan di dalam kelas kuliah ber-AC mahal dengan suhu 16o celcius. Ilmu yang ALLOH tunjukkan langsung narasumbernya, bermodal jalan kaki di sore hari, ilmu yang sederhana, tapi bermakna dan mengena. Bahwa siapapun dan bagaimanapun diri kita, jangan pernah lupa untuk mengumpulkan bekal untuk akhirat esok, karena Rosululloh SAW bersabda “Orang yang paling banyak mengingat kematian dan paling mempersiapkan bekal untuknya, mereka itulah orang-orang yang Cerdas, mereka memboyong kemuliaan dunia dan akhirat.”

Masyaa ALLOH. Mari neng anu geulis, aa anu kasep, mari kita lihat diri kita masing-masing, selama ini dimana sih kata “kematian” kita tempatkan? Dalam do’a? Dalam jiwa? Di otak? Di hati? Di buku harian? Atau malah tidak pernah kita sentuh sama sekali kata yang satu itu karena kita takut? Ayo di ingat… Apapun bentuknya, yang diberi jiwa oleh ALLOH pasti bakal Mati, tak usah ragu. Dan ayo di ingat juga… Bahwa Hidup kita ini hanya untuk Mati, dan Kematian kita hakikatnya untuk Dihidupkan kembali… Maka mari hidup dengan baik dan benar untuk menuju sebaik-baik kematian yang ALLOH ridhoi, dijemput oleh barisan malaikat yang mendo’akan kita sampai ke alam kubur yang lapang dan terang benderang. Dan mari menjemput kematian dengan cara yang mulia, khusnul khotimah, agar kelak kita dihidupkan kembali sebagai makhluk yang ALLOH cintai, dihantar hingga ke syurga, dikumpulkan dengan kekasih-kekasih NYA para mukminin dan mukminat. Aamiin Yaa Robbal ‘Aalamiin.


Yap. Hidup untuk Mati dan Mati untuk Hidup… Baarokallohufiikum :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar