Bismillaahirrohmaanirrohiim…
Malam ini aku duduk
bersama seorang teman. Yaa, hanya duduk. Ditempat yang sama seperti kemarin. Di
waktu yang juga sama seperti kemarin. Hanya dengan orang yang berbeda.
Jam di handphone
menunjukkan pukul 8 lewat 8 menit, Aku berdiri di beranda lantai 4 asrama
putri, menghadapkan diri ke barat tepat didepan langit dengan kumpulan
cahayanya yang seakan redup, tersamar oleh lampu-lampu dunia. Sendiri aku
menghambur pandang jauh ke seberang sana, dimana lampu-lampu rumah dan
kendaraan terlihat seperti kunang-kunang. Tapi fikir ku terlepas jauh dari apa
yang ada dihadap mata. Ia berlari menembus langit yang hitam, mencari yang
lebih indah dari sekedar pemandangan malam. Jauh, hingga tak terbayang...
Ku genggam Samsung
ditangan kiri ku, menunggu sms dari seorang teman. Murottal Syeikh Misyari
Rasyid mengalun menemani lamun ku malam itu. Sembari bibir berkomat-kamit
mengikuti lantunan ayat demi ayat, menenangkan…
Jam 8 lewat 15 menit,
sejak awal tadi aku lihat mahasantri lalu lalang entah masuk atau keluar
asrama, suara motornya beberapa kali terdengar. Yaa, baru aku sadar ini sabtu
malam. Beberapa dari mereka keluar untuk membeli makan, sebagian yang lain
mungkin pergi untuk melaksanakan ritual ‘SatNite’ seperti biasa. Aah.. kasian
mereka. Semoga Tuhan senantiasa memberi lindungan dalam kesia-siaannya.
Aku masih berdiri
ditemani Syeikh Misyari Rasyid, sambil sesekali membaca & membalas sms dari
seorang teman, kami ada janji ‘kencan’ malam ini. Semoga menyenangkan. Tak lama
berselang, sebuah motor yang terlihat menuju asrama barat berhenti dan parkir
dibawah sana, dua orang lelaki turun berjalan menuju mushola yang gelap,
mungkin mahasantri. Aku hanya mengamati. Mereka mengambil wudhu dan
melaksanakan sholat Isya berjama’ah, ditambah 2 roka’at shalat sunnah ba’diyah.
Aku masih mengamati. Dalam hati bersyukur masih ada manusia yang mau
menghidupkan rumah ALLAH walau sebenarnya bisa saja mereka sholat di asrama
yang hanya berjarak ±100 meter dari mushola. Sampai saat mereka pergi, aku
masih berdiri…
Lamun ku harus terhenti
saat ku baca sms dari teman yang ku tunggu. Oke, waktunya ‘berkencan’. Ku ucap
salam pada udara malam sebelum memutar badan, pergi, kembali pada nyata.
Dan akhirnya kami duduk
disini, berdua untuk pertama kalinya. Ditempat yang sama, waktu yang sama,
dengan suasana dan kawan yang berbeda. Angin masih bertiup pelan menyebarkan
dinginnya malam, sama seperti saat terakhir kali aku disini -kemarin- dimana
angin seolah datang & pergi membisikkan kesejukan, lebih sejuk dibanding
angin dibawah sana, yang dinginnya seolah menggiring tubuh agar tetap duduk
manis didalam kamar, memusuhi jiwa-jiwa yang ingin mengekspresikan kesunyian,
mengurung raga yang ingin bebas barang sebentar saja. Aku masukkan kedua tangan
kedalam saku jaket ku, menyandarkan tubuh dan memejamkan mata, menikmati
‘kesejukan’ malam ini, menyerap setiap energi dari bisikan-bisikan angin yang
akan menemaniku hingga beberapa waktu lagi.
Langit seolah terlalu
luas, disini aku lebih dari sekedar melamun. Pandangku terfokus pada
benda-benda langit kecil diatas sana, butuh waktu untuk menyadari jumlah mereka
lebih banyak dari sekedar yang terlihat kasat mata. Dan entah keberapa kalinya
sejak ‘rutinitas’ ini dimulai, aku kembali menengadah bertemu segala macam
pemikiran, segala macam orang, segala macam harapan, dan segala macam keraguan.
Bintang menyampaikan banyak pesan, meski kadang sulit untuk ku pahami. Seberkas
merah di timur sana bersinar ragu tertutup awan. Perlahan ia bergerak naik
memperjelas bentuknya, semacam bulan, dan sepertinya memang bulan. Yaa
begitulah, cukup lengkap malam ini, hmm walau tidak sebenarnya. Entahlah...
Kami larut dalam
kesendirian masing-masing, dalam ketenangan masing-masing. Aku membiarkan ia
‘mengenal’ suasana ini, membiarkannya menikmati suara kendaraan jauh dibawah
sana, membiarkannya melepas pandang jauh lebih dari yang biasanya,
membiarkannya terbiasa dengan sinar langit yang seadanya. Sesekali kami
berbincang, sekedar memastikan bahwa jiwa masih ada dalam raga meski fikir
seringkali memaksanya pergi entah kemana. Formalitas, katakan saja begitu.
Basa-basi dimulai dengan ‘bulan’, kemudian ‘kembang api’, sekali tentang
‘rumah’ hingga kami menyebut kata ‘laut’. Tidak banyak yang bisa dijadikan
bahan obrolan, sepertinya malam menarik setiap ide dalam otak hingga kami hanya
bisa diam dalam kesibukan fikir masing-masing. Meski kadang aku memaksa diri
untuk dapat memulai obrolan. Yah, cukup begitu saja. Selebihnya kami kembali
dalam kesibukan diri untuk diam, menatap, merasa, membayang, menikmati yang
malam suguhkan.
Pemandangan yang
luas memang, tapi pandang tetap terbatas dalam jangkaunya, sedang fikir
melanglangbuana seperti biasa, menembus apa yang ada dihadap mata. Jalanan,
dengan isinya yang dipadati muda-mudi ber’Satnite-ria’, lampu-lampu kendaraan
yang terus menyorot tajam seakan ingin menerobos barisan didepannya. Dua orang
wanita yang berjalan mondar-mandir, menggenggam handphone ditelinganya,
bergandengan, seperti sedang menunggu sesuatu atau mungkin khawatir akan
keadaan. Jauh dari arah kampus, terdengar komando “Siaap grak!”. Aku melihat
jam dihandphone, sepertinya bukan waktu yang tepat untuk menyiapkan barisan.
Entah bulan yang terlalu pagi bersinar, atau semangat mereka yang terlalu kuat
hingga selarut ini. Dipinggiran jalan tak jauh dari situ, sekumpulan pria duduk
membentuk lingkaran, bernyanyi & tertawa seakan lepas semua beban yang
mengikutinya. Aah.. sabtu malam, bermacam cara manusia mengisi engkau. Sedang
aku hanya menjadi bagian kecil dari mereka, terbagi-bagi pada satu dan yang
lainnya, ‘pengamat’.
Suasana yang berbeda
dengan malam sebelumnya. Kemarin.. saat aku berbincang banyak tentang
kehidupan, saat aku berbagi kisah tentang persahabatan, saat aku menjadi
pendengar, saat raga dan jiwa ada dalam satu situasi, kompak menikmati malam
hingga larut. saat bintang terasa lebih banyak dari sekarang, saat langit
terasa lebih berwarna, saat angin lebih bersahabat dengan hembusnya, hingga tak
terasa waktu berlalu begitu cepat. Kemarin..
Aku beranjak dari
tempatku semula, melepaskan sandaran dan duduk lebih dekat ke tepian, suara
dunia lebih jelas terdengar. Entah fikir membawaku kemana malam itu, seolah
emosi tiba-tiba mati. Malam tidak membuatku tertawa, kecewa, atau bahkan
menangis. Fikirku pun seolah bingung hendak membawa jiwa kemana. Lama
menghilang mencari titik nyamannya, lama, tak jelas arahnya...
“kak, turun yuk…”
suaranya mengembalikan sadarku yang sempat kebingungan sebelumnya. Aku menoleh,
dan untuk kesekian kalinya melihat jam dihandphone. waktu menunjukan pukul 9
lewat 38 menit. Rasanya lamunanku sudah lebih lama dari waktu yang berlalu. Aku
pun beranjak dari tepian, berjalan sambil terus mengumpulkan jiwa &
fikiran. Begitu saja untuk malam ini...
Kami sedikit berbincang
saat menuruni anak tangga, hingga kami berpisah didepan kamarnya, 'kencan'
malam ini ditutup dengan ucapan salam. Langkahku tidak langsung mencari jalan
pulang. Ia melaju menuju beranda timur, masih dilantai 4 asrama putri. Aku
berdiri menghela nafas sebentar, sebelum akhirnya kembali mengucap salam pada
malam. Entah angin akan membawanya kemana, atau menyampaikannya pada siapa…
Langkah kemudian membawa
tubuhnya kembali ke peristirahatan, tapi bayang masih melekat mengganggu
fikirku malam ini. Semua yang aku lihat, aku dengar, aku rasa, aku fikirkan,
mengendap dalam harap dan menambah emosi baru yang sepertinya harus
segera aku singkirkan. Entah yang mana...
Malam ini, aku duduk
bersama seorang teman, meski hanya duduk.
Malam ini, aku melihat
dan menemani, yang aku kira dan ternyata benar.
Malam ini, aku meminta
izin dan mengucap maaf, angin menjadi saksi.
Malam ini, aku kirimkan
salam, aku yakin Tuhan pasti menyampaikan...
Asrama Lantai 6...