Aku berdiri di depan gerbang ungu sebuah tempat konseling psikolog. Melihat papan namanya aku yakin inilah tempatnya. Kemudian aku bawa amplop coklat titipan adikku ke dalam. Disana aku disambut dua orang wanita. Setelah memperkenalkan diri dan menyampaikan maksud kedatangan, kami pun berbincang sebentar.
Tahun 2018 lalu adik laki-lakiku lulus SMA. Waktu itu dia memutuskan tidak langsung melanjutkan kuliah melainkan belajar bahasa inggris di pare. Setahun setelahnya dia mencoba mendaftar kuliah melalui jalur bidikmisi, mengingat orang tuaku yang sudah pensiun dan terbatas dana untuk biaya kuliahnya. Setelah berjuang ke sana ke mari, akhirnya dia lolos. Sayangnya di akhir pengumuman, dia malah ditempatkan di jurusan lain yang bukan menjadi pilihannya. Alasannya kuota jurusan lain sudah penuh. Akhirnya dia dialihkan ke jurusan geografi. Dia bingung saat tau itu, karena dia sama sekali tidak tau-menau tentang geografi. Akhirnya setelah mempertimbangkan banyak hal, dia memutuskan untuk mencoba menjalani kuliah di jurusan geografi.
Beberapa bulan kuliah dia sudah merasa tidak cocok, tidak paham materinya, tidak tertarik tentang geografi. Mencoba bicara pada orang tua tapi tidak dia dapatkan respon yang dia inginkan. Orang tua dan kami kakak-kakaknya meminta ia mencoba bertahan sebentar lagi saja, karena sayang sekali jika beasiswa bidikmisi ini dibatalkan. Berbulan-bulan kemudian adikku berubah. Dia yang awalnya semangat berorganisasi, jadi tidak pernah terlihat aktif lagi di kampus. Kuliah, pulang. Kuliah, pulang. Sikapnya juga berubah lebih dingin, lebih tertutup, tidak ceria, aku yang serumah dengannya merasa canggung saat menghadapinya.
Singkat cerita, adikku bercerita pada kakak pertama bahwa ia sudah tidak sanggup melanjutkan kuliah di geografi. Ternyata selama ini mentalnya sakit, ia sudah konseling dengan beberapa psikolog tanpa sepengetahuan kami. Aku sedih sekali saat mengetahuinya. Tapi upaya membuat orang tua untuk mengerti kondisinya juga tidak mudah. Ada kesenjangan antara anak bungsu lelaki ini dengan orang tuanya. Jadi mau tidak mau harus kami kakak-kakaknya yang menjadi jembatan komunikasi bagi mereka. Adikku ingin berhenti kuliah geografi dan mengundurkan diri dari bidikmisi. Dia ingin mengejar cita-citanya menjadi psikolog. Tentu itu bukan hal yang mudah untuk diterima orang tua dan kami kakak-kakaknya. Banyak pertimbangan yang harus dipikirkan untuk kedepannya. Tapi setelah melihat segala yang terjadi padanya sejak awal kuliah sampai saat ini, aku lebih mendukung dia untuk melakukan apa yang dia mau.
Sakit mental bukanlah hal sepele yang bisa disembuhkan dengan "sholat yang rajin, berdoa ke Allah, ikut kajian". Sakit mental lebih kompleks dari itu. Aku bersyukur dengan tekanan dan trauma yang adikku rasa selama ini, ia masih cukup waras dan masih ingat sholat. Aku mengkhawatirkan masa depannya nanti kalau harus memaksa diri menyelesaikan kuliah geografinya. Ia adalah anak lelaki yang kelak akan menjadi suami, akan menjadi kepala rumah tangga dan bapak dari anak-anaknya. Aku khawatir luka batinnya itu akan berlanjut sampai ia dewasa dan menyusahkan kehidupan berkeluarganya nanti.
Setelah proses panjang yang penuh drama di keluarga, akhirnya adikku mengundurkan diri dari bidikmisi. Ia kemarin sudah mendaftarkan diri secara online ke fakultas psikologi di kampus tempat kuliahnya dan alhamdulillah ia lolos. Karena itu aku diminta dia untuk meminta tanda tangan dari psikolog tempatnya konseling karena dia sedang berada di Cirebon dan belum bisa pulang ke Solo. Meski sudah direstui orang tua untuk menjalani keputusannya, tapi masih banyak yang mengganjal di pikiran orang tua. Apalagi orang tuaku tipe orang tua jaman dulu yang belum kenal ilmu parenting. Banyak hal yang menjadi salah paham dan harus dijelaskan lebih detail secara perlahan. Saat ini adikku sedang memproses berkas-berkas pengunduran dirinya. Aku hanya berharap mentalnya bisa semakin sehat, ia bisa kembali bahagia dengan pilihannya. Ia bisa bertanggungjawab dengan segala resiko dan kewajiban yang menunggunya di depan. Aku berharap hubungan antara kami sebagai anak dengan orang tua semakin membaik. Ibu dan Bapak sehat selalu, dan mengubah mindsetnya yang selama ini banyak keliru. Semoga Allah meridhoi setiap upaya kebaikan dan memudahkan setiap proses perjuangan.
(Ditulis tahun 2020 di kelas @Nulisyuk batch 60)
hanya kumpulan ejaan yang dirangkai tanpa ada keterkaitan. abstrak. ambigu. hidup dalam artinya sendiri. tentang Coretan, yang tak terbaca. tentang Kenyataan, yang tak pernah ada. tentang Do'a. EJAAN -
Selasa, 23 Desember 2025
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Keputusan
Aku berdiri di depan gerbang ungu sebuah tempat konseling psikolog. Melihat papan namanya aku yakin inilah tempatnya. Kemudian aku bawa ampl...
-
Seringkali manusia tidak sekuat itu untuk tetap menjadi teman setelah perasaannya terluka.ㅤㅤㅤㅤ Beberapa memilih berdamai dengan diri dan kea...
-
Bismillaahirrohmaanirrohiim... Akhir shofar 1437 H Aku terpaksa menelan pahitnya ucapan selamat tinggal... Pahit sekali…...
-
Bismillaahirrohmaanirrohiim Sahabat hilang. Sahabat datang. Jauh, lama dalam keragu-raguan. Bersinar, Mered u p, terus berganti...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar