Sabtu, 13 Desember 2025

Pak, Bu...


Seratus cahaya malam, begitu arti dari nama yang orang tuaku berikan. Mungkin mereka berharap aku bisa memiliki banyak cahaya untuk bisa menerangi jalan hidupku dan keluargaku dari saat-saat gelap yang Allah takdirkan. Tapi hingga saat ini, aku merasa belum bisa menjadi apa yang orang tuaku inginkan.

Bapakku adalah seorang guru PNS yang sederhana, sedangkan Ibu adalah gadis desa lulusan SD yang bertemu Bapak saat sedang tugas dinas di awal karir PNS nya. Mereka menikah dan dikaruniai anak pertama seorang bayi perempuan yang lucu, Lia namanya. Qaddarallah Ibu dan Bapak harus menerima kenyataan bahwa Allah lebih sayang pada Teh Lia. Allah memanggil Teh Lia pulang saat masih bayi karena sakit. Dua tahun kemudian Allah karuniakan seorang anak lelaki, Abdul Fatah. Aa Fatah tumbuh menjadi anak lelaki tampan yang baik, lucu, patuh pada orang tua, dan disenangi banyak orang. Ia menjadi pengobat bagi kehilangan yang pernah orang tuaku rasakan.

Tapi rupanya lagi-lagi Allah hendak menaikkan derajat keimanan Bapak dan Ibu. Allah memanggil Aa Fatah kembali padaNya sesaat setelah beliau dikhitan. Sejak masih kecil aku sering diperlihatkan foto Aa, dan aku pikir Aa Fatah adalah lelaki paling tampan yang aku tau saat itu. Dua tahun kemudian Allah mengganti kehilangan-kehilangan itu dengan lahirnya anak ketiga, kakak perempuanku yang kini menjadi anak sulung di keluarga kami. Kami panggil ia Teh Yanti. Teteh adalah sosok perempuan pendiam, cerdas, baik hati, tegas, ia seorang aktivis dakwah bahkan hingga sekarang saat sudah memiliki 5 orang anak. Lima tahun setelah Teteh, aku lahir. Tujuh tahun setelahnya, Allah karuniakan anak terakhir untuk Ibu dan Bapakku. Anak lelaki satu-satunya di keluarga kami.

Bapak adalah sosok yang bertanggung jawab dan pekerja keras. Sejak awal mengajar, ia pulang-pergi menggunakan sepeda. Meski berkilo-kilo meter jarak antara rumah dan sekolah, ia tempuh demi mencari nafkah bagi istri dan anak-anaknya. Bapak baru bisa membeli motor saat anak pertamanya duduk di bangku kuliah. Sebuah honda supra bekas yang Bapak beli melalui tetangga, cash tanpa mencicil atau berhutang. Yang bahkan setelah belasan tahun lamanya, motor itu masih Bapak pakai sampai sekarang. Di mata murid-muridnya Bapak adalah sosok guru yang tegas, galak lebih tepatnya. Tapi di mata teman-temannya, Bapak adalah kawan yang jail dan kocak. Bapak sering melucu meski kadang tidak lucu. Sampai saat inipun masih begitu.

Ibu adalah sosok gadis desa yang polos asal Purwakarta. Ibu tumbuh dengan didikan keras ala orang desa pada jamannya. Orang tua Ibu bercerai saat beliau masih kecil, yang akhirnya memaksa Ibu untuk bekerja keras memenuhi kebutuhannya sendiri. Ibu bekerja sebagai pemecah batu di sungai dengan upah ala kadarnya. Seringkali ia harus melakukan ini dan itu untuk sekedar mendapatkan makan. Ibu rela diboyong Bapak ke Cirebon tanpa tau Cirebon itu dimana dan bagaimana. Ibu adalah perempuan yang kuat, ia sering memendam kesakitannya lalu menangis seorang diri. Ibu adalah perempuan dermawan dan senang membantu kerabat maupun teman-temannya. Sejak kecil yang paling aku ingat dari Ibu adalah Ibu rajin sekali sholat. Sejak subuh, pagi hari, siang terik, sore hari, malam gelap, bahkan saat semua orang sudah lelap tertidur, aku selalu melihat Ibu sedang sholat. Entah itu sholat wajib atau berbagai sholat sunnah yang Ibu amalkan.

Sosok Bapak dan Ibu dengan berbagai latar belakang dan perjuangannya sejak kecil, memberi kekuatan baru untuk diriku juga anak-anak mereka yang lain. Mereka adalah inspirasi dan pelajaran bagi kami dalam menjalani kehidupan. Pola pengasuhan mereka, kurang dan lebihnya menjadi gambaran untuk aku dan Teteh dalam mendidik anak. Semoga Ibu dan Bapak diberi keberkahan usia, disayang Allah, disehatkan dan dibahagiakan selalu hingga Allah memanggil mereka dalam husnul khotimah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pak, Bu...

Seratus cahaya malam, begitu arti dari nama yang orang tuaku berikan. Mungkin mereka berharap aku bisa memiliki banyak cahaya untuk ...