Bismillaahirrohmaanirrohiim.
Senin,
20 Oktober 2014. Adzan maghrib belum berkumandang saat ku langkahkan kaki (kembali)
ke sini, meski waktu sholat masih beberapa menit lagi, tapi dengan mantap aku
memilih berhenti. Belum ada jama’ah yang datang, hanya terlihat dua orang
lelaki sedang membersihkan lantai. Aku cuek saja masuk, dengan mengucap permisi
tentunya. Ini kali ketiga aku ‘mampir’, jadi teringat saat pertama kali aku
sampai disini…
Waktu
itu akhir September, pilihan yang tepat untuk ku hentikan langkah. Aku sedang
ingin menghilang dari segala hal yang datang mengejar, atau menjauh dari apapun
yang sedang menunggu dengan setumpuk beban baru. Rupanya ALLOH kabulkan, dan sengaja
memberi waktu untuk lelah ini berkurang. Memang emosi tak bisa dipaksa terus
bertahan, maka berhenti adalah pilihan yang tepat sekali. Saat otak yang penat
butuh disegarkan, saat hati yang futur butuh diingatkan, saat jiwa yang angkuh
butuh disadarkan. Melanjutkan langkah hanya akan menambah kacau di hati, kacau
di jiwa. Sendiri ini lah yang dibutuhkan, karena nurani sudah berteriak tentang
kerinduan pada Robb-nya, maka menjadi asing adalah hal yang selalu
menyenangkan, menenangkan, karena aku bisa bebas berbincang dengan Robb-ku. Aku
bisa bebas menjadi siapa saja yang aku mau, untuk Robb-ku…
Langkah
sore itu begitu berat karena lelah & penat yang menumpuk jadi satu,
terakumulasi di dalam hati & otak, entah sudah berapa lama mengendap,
berubah menjadi kronis dan menggerogoti optimisme juga semangat yang ada. Hati
berteriak, minta diobati…
Hari
itu aku pulang terlambat, sampai adzan maghrib berkumandang, belum juga
setengah jalan aku habiskan. Meski ragu di awal, akhirnya aku berhenti di
sebuah masjid yang cukup besar. Masjid ini sering aku lewati, tak peduli pagi
siang sore atau malam ku lihat masjid ini tak pernah sepi. Mungkin karena
tempat & suasananya yang nyaman. Ku ambil wudhu dan masuk ke dalam, jama’ah pria cukup ramai memenuhi hampir seluruh shaf yang ada. Jama’ah wanita tak kalah
ramai, hampir semuanya ibu-ibu setengah baya dan sisanya anak-anak. Aku
mengambil tempat diantara 2 ibu yang ramah, kami sempat berbincang, basa-basi…
Aku
larut dalam kelelahan, larut menyerap ayat-ayat yang imam lantunkan. Berusaha
khusyu untuk ‘bertemu’ dengan Robb yang ku rindukan. Selesai sholat akal mulai
berpikir kesana-kemari, berada diantara orang-orang yang entah siapa membuatku
lebih objektif dalam menilai. Ibu-ibu di kanan-kiri ku usianya mungkin sudah hampir
setengah abad atau bahkan lebih, tapi aku salut, mereka masih semangat
untuk pergi ke masjid, selelah & selemah apapun adanya diri mereka. Meski
sebenarnya wanita tidak diwajibkan untuk sholat berjama’ah meninggalkan rumah.
Moment
yang tepat, rupanya malam itu ada pengajian rutin selepas maghrib. Pikir ku,
“daripada pulang sekarang, sepertinya lelah belum banyak berkurang. Mending
sekalian saja aku ‘kabur’ untuk ikut pengajian, sholat isya berjama’ah, barulah
pulang. Tak masalah sedikit lebih larut, setidaknya hati sudah jauh lebih
tenang, Alhamdulillah…” Pengajian akan segera dimulai, jama’ah pria pindah ke
ruangan disebelah kiri masjid untuk mengikuti kajian, sedangkan jama’ah wanita
tetap pada tempatnya, memasang telinga untuk mendengarkan setiap ilmu yang
disampaikan.
”Disini
pengajiannya rutin dik, setiap senin, rabu & kamis malam, ikutan aja. Ada
tahsin, hadits & tafsir qur’an. Kalo hadits yang ngisi ustadz dari klaten…”
kata Ibu di sebelah ku memberitahu. Aku mengangguk dan mengiyakan, “Enjeh Bu,
InsyaaALLOH…” kemudian kami lanjutkan perbincangan, tentang idul adha yang akan
segera datang, tentang kuliah, juga tentang kegiatan kami sehari-hari. “Ngantuk
dik, dari pagi sibuk ngerjain ini, ngerjain itu. Sampai tadi jam 5 sore baru
selesai, maunya sih tidur tapi tanggung maghrib.” Aku tersenyum & memberi
tanggapan sekedarnya. Bukan hal yang aneh bahwa ibu rumah tangga pasti akan bekerja
full time setiap hari, mengerjakan segala macam tetek-bengek yang menjadi
tanggung jawabnya. They are SuperMom! Ya, Ibu dihadapanku ini memang sudah
tidak muda lagi. Begitu pula ibu-ibu lain yang sholat berjama’ah dan mengikuti
pengajian kebanyakan sudah lanjut usia. Tapi begitulah, toh mereka
semangat-semangat saja untuk berjalan ke masjid meski dengan kaki yang lemah,
duduk mendengarkan ilmu meski mata sudah tak sanggup lagi, ikut berdiri
dibelakang imam dengan segenap do’a dalam ibadahnya…
Aku
merenung, dulu mereka pernah muda sepertiku, dan aku pun pasti akan menjadi tua
seperti mereka. Tapi apakah usiaku nanti akan diisi dengan benar-benar
beribadah kepada ALLOH atau tidak, itu semua tergantung padaku. Lalu berpikir,
saat nanti aku seusia mereka, saat termenung, apakah aku akan mensyukuri hidup
yang dekat dengan ALLOH atau menyesal karena hidup yang penuh kesia-siaan?
Apakah aku akan menghabiskan sisa usia dengan berada di masjid mendengarkan
tafsir qur’an? Apakah aku akan tetap semangat mencari ilmu dan berdakwah untuk
ALLOH seperti yang mereka lakukan? Satu demi satu hal muncul menjadi renungan,
lalu hati otomatis mengintrospeksi setiap amalan selama ini, kehinaan…
Sholat
maghrib kali ini menjadi cambuk untuk semangat ku yang belakangan kian melemah,
ALLOH memberi kesempatan di waktu & tempat yang tepat untuk ku ‘berkaca’.
Membandingkan diri yang masih kuat ini dengan mereka para SuperMom yang sudah tak
muda lagi. Malu pada ALLOH, fisik yang selalu sehat & kebutuhan yang selalu
dicukupi tapi ungkapan syukur seringkali terlupa, atau dilupa. Mengeluh lebih
banyak padahal lelah tak seberapa, menggerutu saat hidup sedikit saja dirasa
tak nyaman, padahal hanya sekecil cobaan yang ALLOH sisipkan. Bagaimana jika
nanti aku sudah selemah mereka? Saat semua organ tubuh sudah berkurang
fungsinya, apa mengeluh masih berlaku untuk hari-hari indah yang ALLOH berikan?
apa futur masih layak atas nikmat nafas & nyawa yang ALLOH jaga?
“Berbincang”
dengan ALLOH, bertanya, mengadu, memohon, menikmati setiap sesal yang
menyakitkan, menghempas setiap lelah yang dunia berikan, membandingkan kualitas
diri dengan mereka orang-orang beriman, memanfaatkan ‘sendiri’ ini untuk
menginstall hati, akal, serta jiwa. Setidaknya beberapa hal bisa aku bawa
pulang, oleh-oleh dari keterlambatan setelah lelah & penat yang luar biasa.
Kun fayakun. Semudah menjentikkan jari, ALLOH lepaskan semua beban yang ada dengan
membiarkan ku belajar pada realita. Bahwa dunia ini kejam, maka jangan pernah
mau untuk dikalahkan. Bahwa dunia ini licik, maka jangan pernah mau dibodohi.
Bahwa dunia ini sempit, maka jangan sampai diri kita terhimpit. Bahwa dunia ini
adalah penjara bagi orang-orang beriman, maka semoga ALLOH izinkan kita
terbebas darinya dan memasukkan kita kedalam surgaNYA…
Rabu,
22 Oktober 2014. Imam sedang membaca Al-Fatihah saat aku sampai, benar saja aku
terlambat. Buru-buru ku ambil wudhu & bergegas masuk kedalam. Shaf jama’ah
penuh seperti biasanya, alhamdulillah. Kajian tafsir qur’an malam ini membahas
azab-azab ALLOH yang pernah ditimpakan pada umat terdahulu, tentang fir’aun,
kaum ‘adn, dan lain sebagainya. Aku mendengarkan sambil sesekali mencatat apa
yang harus dicatat, ditemani kawan-kawan baruku, Aulia, Ida, Salma dan Salsa. Gadis-gadis
cilik yang rajin sholat berjama’ah dan mengikuti kajian. Tapi malam itu ada
yang mengalihkan pandanganku, saat sedang memperhatikan layar LCD yang berisi
materi, ku lihat seorang Bapak serius sekali menyimak. Bapak ber-koko putih
dengan rambutnya yang juga sudah putih, berpeci dan berkacamata, memegang
sebuah buku & pulpen ditangannya, sibuk menatap layar & mencatat apa yang
dilihatnya, juga apa yang didengarnya. Berbeda dengan kebanyakan jama’ah lain
yang malah asik mengobrol atau duduk lelah sambil terkantuk-kantuk. Lagi-lagi
aku merasa ‘ditegur’, Bapak yang sudah sepuh saja masih semangat membuka hati
& pikirannya untuk dapat menerima ilmu, padahal hari sudah larut. Bahkan Ia
mencatat setiap ilmu tersebut, tak peduli orang disekelilingnya yang hanya
duduk santai, entah mendengarkan atau tidak. Lalu otak refleks bertanya, bagaimana dengan 'saya'???
Kajian
selesai, sholat isya juga usai, Alhamdulillah waktunya pulang. Ku lihat seorang
pemuda –maaf- melompat dengan satu kakinya keluar, mengambil tongkat yang ia
letakkan didekat pintu masuk, kemudian melanjutkan langkahnya meninggalkan
masjid. Mungkin ini ‘teguran’ terakhir yang ALLOH suguhkan sebelum aku pulang… Sungguh
ALLOH Maha Besar, betapa orang-orang beriman mencintai ENGKAU sampai kurangnya
fisik pun tak jadi penghalang untuk mereka tunaikan kewajiban. Kalau sudah
begini aku rasa diri jauh lebih ‘kurang’ dibanding mereka yang ‘kelihatannya’
lemah. Memang iman & taqwa adanya didalam hati, tak peduli usia, fisik,
harta, jabatan, kemampuan, hanya ALLOH yang mengetahui kadar kemuliaan dari
masing-masing hamba-NYA...
Sedikit
cerita dari beberapa episode yang aku dapatkan di tempat ini, bersyukur ALLOH senantiasa
‘menegur’ ku dengan kuasa-NYA yang indah. Dan berharap episode demi episode indah
lainnya datang mengisi kekosongan hati, menerangi jiwa dengan iman, menyuburkan
syukur dalam renungan, hingga menjadikanku hamba yang selalu dicinta &
dirindu oleh Robb-ku, selalu…
Ku
langkahkan kaki dengan hati & pikiran yang lebih fresh, serasa habis di
install… Awan mendung menemaniku pulang, melangkah habiskan jalanan…
Terimakasih ALLOH, aku cinta solo :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar