Senin, 03 Juni 2013

" amat "



Aku melihat banyak kekeliruan, dari mereka yang menamai jiwanya ISLAM. Mereka yang ber’seragam’ tapi tidak berusaha menjadikan dirinya pantas dengan apa yang 'dipakai'nya. Merasa bahwa manusia mutlak tempatnya salah & lupa, jadi wajar saja… tanpa ada pembenaran, tanpa ada perbaikan, atau sekedar niat menjadi makhluk yang lebih punya ‘harga’. Memalukan.


Aku mendengar mereka berkoar tentang firman TUHAN, tentang apa yang dikata halal dan haram, tentang mana perkara yang benar atau salah yang tidak boleh dilakukan. setelahnya, mereka sendiri yang mempraktekkan. Kacau.

Aku mencium aroma kebencian, dari banyak orang pada sebagian manusia lainnya, entah pria atau wanita, atau lebih pantas disebut ‘jantan’ dan ‘betina’. yang katanya ukhuwah ISLAMiyah harus dijunjung tinggi, tapi fitnah dan rasa benci ditebar kesana-kemari, bahkan pada saudara sesama ISLAM. Bangga dengan kesalahan yang oranglain buat. Merasa benar dengan segala munafik yang disembunyikan. Ironis.


Aku memperhatikan satu demi satu yang terlihat ‘baik’, merasa iri hingga berusaha menyamai. Tapi lama-kelamaan, perhatianku dibuat kecewa dengan ‘kebusukan’ yang perlahan terungkap. Yang punya nama A, B, atau C, sama saja bentuknya. Menyedihkan.


Aku mendekat, pada mereka yang aku percaya, yang membawa nama TUHAN dalam sumpahnya, membuatku nyaman dalam keterbukaan… sedetik kemudian, Fitnah merajalela… oh manusia, mulut-mu harimau-mu. Munafik.

Aku hormat pada mereka yang berILMU seluas samudera sedunia, atau seluas angkasa raya. Aku kagum, aku iri, merasa kerdil dihadap mereka saat ilmuku diuji, tak sebanding. Tapi dalam nyata, aku sadar, Ilmu dalam otaknya hanya sekedar teori, full-text tanpa realisasi. Sekedar tau tapi tidak mau memahami. ILMUnya hanya mengendap dalam otak, biar lama-lama menjadi kerak. Bangga ber-ILMU katanya. Bukan bangga mengamalkan ilmu. Kasihan.




Aku membuka mata, banyak yang salah jelas bertebaran dihadapan, saat nama TUHAN dipermainkan, saat ILMU TUHAN dijadikan ukuran kebanggaan, saat AYAT TUHAN diartikan bermacam-macam, saat ATURAN TUHAN ditawar-tawar, dikurangi atau ditambahi. Hebat benar.


Sepertinya kini manusia sudah terlalu cerdas, sudah terlalu adidaya hingga tanpa malu mengatur-ngatur TUHAN, berani berlaku ini dan itu, menyepelekan yang salah dan memberatkan yang benar, hingga BODOHnya jelas terlihat tanpa adanya IMAN.


Yang benar itu tidak ada. Yang benar itu NOL BESAR.
Aku menengadah dalam tenang, menatap langit yang luas, kosong, dalam pejam dihadap langit tanpa warna, aku menyadari keberadaan TUHAN…
ALLAHUAKBAR, Maha Suci Engkau, Maha Kuasa Engkau Yaa ALLAH.
Maka ampunilah aku dengan segenap dosa & kehinaan ini, ampuni aku dengan segenap sombong & kebodohan ini, ampuni aku dalam susah-payahku menuju padaMU… Laa hawla walaa quwwata Illaabillaahil ‘aliyyil ‘adziim…




Sukoharjo,

HTM 02062013


Minggu, 02 Juni 2013

Dihadap Tanya...



“Saya hanya……”
Lidahnya tercekat. Kalimatnya tertahan diantara lidah dan tenggorokan. Ia mengingat hari-hari dimana ia hanya duduk dikursi tua itu, ditemani sebuah agenda tebal penuh cerita, bersanding dengan origami-origami kertas yang setiap hari ia buat, bertebaran diatas meja kayu antik. Didepannya, sebuah jendela terbuka menghadap langsung pada keramaian diluar sana. Menjadi penghubung antara ia dengan dunia luar, dunia yang kontras dengan tempatnya berada saat ini. Ia melamun, lagi. Ingatannya melayang, lagi. Bukan pada lalu yang membuatnya berada disini, tapi pada kesendirian yang tengah ia nikmati.

“Hanya apa…?” tanya seorang gadis cantik dibelakangnya, bukan puterinya, atau keluarganya, apalagi saudara jauh yang sedang menjenguknya. 

Lamunannya seketika mengabur, memaksa ia kembali pada jasadnya dihadap meja kayu antik. Ia tak tau harus menjawab apa. Lama sudah otaknya berputar kesana-kemari, tapi belum ia temukan kalimat yang tepat untuk menjadi jawaban pasti. Ia rasa diam adalah jawaban yang paling tepat sebenarnya. Karena yang benar seringkali tidak butuh kata untuk mewakilinya. Karena yang benar sudah terlalu jauh untuk dikejar. Karena yang benar sudah ia abadikan menjadi rangkaian ejaan, hidup didalam agenda merahnya. Atau dalam lipatan origami kertas yang memenuhi kamarnya. Bukan untuk diumbar kemana-mana, cukup ada dalam dunianya saja. Ia tatap belasan origami diatas mejanya, membayangkan mereka terbang dan membawa setiap kisahnya pada dunia, atau membawanya terbang dari ruangan sempit dengan kursi tua dan meja kayu yang membosankan.





Tapi lamunannya sudah terlalu jauh dari nyata yang ada, kalimat untuk menjadi jawab tidak juga ia temukan. Tanpa ia sadar, gadis cantik itu telah berada dihadapnya, berlutut menatapnya dengan iba, mengusap tetesan-tetesan air hangat yang mengalir diwajah tuanya.

“Kenapa ibu menangis..?” tanyanya tak tega.
“Saya hanya…sedang tidak waras waktu itu.” Jawabnya sekenanya. Sambil buru-buru memalingkan wajah dan membersihkannya dari airmata. Berharap sang gadis bosan dan segera pergi meninggalkannya.
Sang gadis kemudian berdiri, menyadari ketidaknyamanan wanita itu. Ia tidak serta merta pergi, diambilnya sebuah origami sembari berjalan kehadap jendela, matanya menatap jauh pada pemandangan diluar sana. Kumpulan anak kecil yang dengan riangnya bermain, berkejaran tanpa beban.

“Saya tidak tau seberapa waras diri ibu saat ini, tapi tulisan-tulisan ibu menjelaskan banyak hal yang membuat saya penasaran, saya hanya ingin ibu sedikit berbagi…” katanya pasti, meyakinkan si wanita agar mau bicara.
“Saya...tidak ada yang perlu saya bagi pada siapapun. Saya bahagia seperti ini.” Jawab si wanita tanpa basa-basi. Berusaha terlihat baik-baik saja. Bertahan dengan sikap dinginnya yang penuh sandiwara.

Ya, sandiwara yang ia mainkan sejak ia berada ditempat ini. Jauh dari sifat aslinya yang ceria, hangat, dan penuh semangat. Ia sudah jarang sekali berbicara, Menulis dan Melamun lebih ia sukai dibanding berbincang menceritakan apa yang ia rasa. Biar saja ia simpan segala ekspresi tentang dirinya, tentang bahagia & kesakitan masalalunya, tentang ketidaksukaan pada lingkungannya yang cenderung munafik, tentang segala yang ia lihat & rasakan dari dalam ruang ini setiap harinya, atau tentang harapannya yang tidak pernah mati, ejaan yang selalu ia rawat didalam agenda merahnya, atau dalam origami-origaminya, atau dalam lamunannya. Dengan setia, dihadap keramaian yang ada jauh diseberang jendela, ia tersenyum menatap kebahagiaan manusia lain, mensyukuri setiap nikmat dalam sisa hidupnya. Hingga setiap tanya yang ditujukan padanya, ia jawab dengan kalimat yang sama, “Saya hanya…sedang tidak waras waktu itu.” 

‘Waktu itu’, entah kapan berakhir dan bermulanya…



Sukoharjo,
02062013 : 2214


Senin, 25 Maret 2013

Hamparan Air Asin..


Ini tentang aku saja… bukan perkara dia atau mereka. Maka jangan patahkan fakta dan menumpuk nilai-nilai busuk yang dikira berharga. Karena jarak kebaikan kian melebar diantara nyata dan fiksi dengan bahagianya... mengacaukan hasil korelasi walau mimpi coba ditafsirkan sepenuh hati.

Kadang berlari dari mimpi satu menuju khayal yang lain, yang kesemuanya tidak berwujud. Mencoba perjelas yang bias, tapi terbatas pada kebingungan mendengar yang lain mendongengkan kisah-kisahnya, hamburkan serangkai naskah menjadi pecahan-pecahan huruf tanpa arti, tak berarti… kalah dengan persepsi konyol yang lebih banyak dilirik, bukan karena menarik, hanya cukup beruntung berada pada fase itu…


Bebas, saat khayal mendapat izin dari banyak arti yang tak tampak. Satu hadir sempurnakan mimpi, mengisi setiap fiksi, membuat tebak-tebakan tentang wujud dari khayal tempat dipijak, meski sementara…

Dekat sekali dengan optimistis mereka menggagalkan langkah, berkata mustahil untuk setiap kata di udara, melayang, melayang mengikuti setiap dongeng dengan segala endingnya… melayang diatas nyata yang belum sempat terjamah, mewakilkan cintanya pada hamparan ketenangan, merindukan, membuat batas menjadi setipis “ini” dengan desakan kegagalan… suram, tapi dikata temaram. Karena pendongeng punya bahasanya sendiri, tidak akan melemah meski terlalu aneh untuk yang waras disana…


Tambah satu, menutup ruang fiksi dengan kreatifitas berbeda, genapkan bahagia sampai langkah berhenti berlari. Temukan yang harus dicari, karena yang fiksi tak bisa semua mengerti. Tapi ditodong dengan keberanian demi selintas mimpi. keanehan, kekacauan, ditinggalkan… atau tidak. Yang nyata terlalu rendah dikenali, juga sama egoisnya mereka itu…

Tapi yang berat ketika hati dipaksa redam egonya, diatas segala fiksi & khayal yang sudah terlalu sempurna… mengusir yang melengkapi, membiarkan diri berkutat dengan sukarnya wujudkan mimpi. Satu, satu, harap melawan segala tantang, berani dengan dibayangi yang terusir, meski puluhan tahun, kata itu akan tetap ada, tetap melayang dan coba menjamah asalnya, hamparan air asin...


Dan semua yang terpilih, buktikan bahwa  takdir itu ada. Terlalu rumit memang, berputar kesana-kemari menghindari khayal yang sempurna. Entahlah apa hati memilih atau dipilih, pun seberapa kuat diri berada dalam nyata yang sebenar-benarnya. Meski puluhan tahun, tetap, yang terusir pertahankan kesempurnaannya. Dan perputaran kembali satukan cinta dalam kreatifitas berkhayal. Kembali pada asalnya, hamparan air asin…


Melarung selembar demi selembar kisah konyol yang hanya dipahami diri, menjadi semakin sempurna karena perputaran mempertemukan hati dengan pilihan-pilihannya. Atau sebaliknya… Memecah fiksi dalam fananya kenyataan hidup. Yang tak dicari, yang tak dikejar dengan berlari, yang tak diharap dengan hindar, yang rendah dinilai tapi tertanam jutaan inspirasi padanya, bintang katanya. Memberi tenang dan senang, menguatkan…

Melarung semua emosi, sampai jenuh memenuhi hamparan itu… tak pernah bertemu, tapi jelas tempatnya didalam “sini”. Selalu menjadi yang dituju, masih bias tapi yang menenangkan pasti akan nyata, hadir, sama seperti yang terusir. Cukup banyak mengutip pola dari yang terbaca, inspirasi, realitas…

Jauh sekali disana, yang satu, yang terusir, yang tak terbayang, mungkin juga sedang berkawan dengan asalnya, hamparan air asin…



Sukoharjo, 24 Maret 2013



Selasa, 26 Februari 2013

#Secoret Cerita..

Bismillaahirrohmaanirrohiim.

Coretan ini hanyalah sedikit cerita, sedikit pengalaman, tentang satu kewajiban dan pilihan saya dalam menjalankannya. Hijab atau Aurat bagi wanita, saya sudah hafal batasan dan pengertiannya sejak duduk di bangku SD dan TPA. Sayangnya pengertian itu hanya sebatas pengetahuan dan hafalan saja, tidak saya pahami. Jadilah tanpa pemahaman, kewajiban itu saya laksanakan setengah hati.

Lulus Sekolah Dasar, saya melanjutkan studi di SMP Negeri yang mewajibkan siswi muslimnya berhijab, Tapi kesadaran saya untuk menghijabi diri secara syar’i belum juga muncul. Saya dan kebanyakan teman menganggap bahwa hijab yang kami kenakan hanyalah “aturan sekolah” dan lupa bahwa sesungguhnya aturan tersebut datang dari Sang Pencipta. Bersyukur keluarga tak pernah bosan mengajarkan dan mengingatkan saya tentang kewajiban seorang hamba pada Tuhannya, khususnya sebagai muslimah. Namun tetap saja saya masih merasa terpaksa memakai khimar diluar jam sekolah, karena kebanyakan teman juga belum menghijabi dirinya secara konsisten. Malah  dalam beberapa waktu saya ikut juga terpengaruh teman-teman tidak menutup aurat saat keluar rumah. Rasanya ingin sama gaul seperti teman-teman yang lain, pun belum berani dipandang berbeda dengan adanya hijab yang menutup aurat. Diluar merasa senang, tapi saat kembali kerumah perasaan sesal muncul. Sesal karena sudah berani “bandel” pada orang tua hanya demi pergaulan.

Orang tua memang tidak marah apalagi membentak, karena mereka pasti paham bagaimana watak & kondisi anaknya yang masih remaja, ingin bebas dan tidak bisa dikerasi. Tapi cukup dengan nasehat-nasehat Ibu yang halus, membuat saya paham bahwa ada kekecewaan yang mereka simpan. Salah satu ucapan Ibu yang selalu saya ingat adalah, “Kamu itu sholat untuk diri sendiri, ibadah untuk diri sendiri, bukan untuk Ibu. Gimanapun capeknya Ibu nasehatin, percuma aja kalo niat itu gak datang dari diri kamu sendiri”. Nasehat itu cukup membuat saya berfikir dan merenung, membandingkan diri dengan kakak perempuan yang sudah berhijab dengan rapihnya. Malu pasti, sayangnya otak remaja saya saat itu masih lemah dengan godaan-godaan yang ada di lingkungan, terlalu memikirkan komentar teman-teman tentang muslimah berhijab yang masih banyak melakukan keburukan. Jadilah hijab hanya sebagai aksesoris saat sekolah atau bepergian, tidak menjadikannya pakaian wajib yang menjaga diri. Astaghfirullohal’adzim.

Fase hidup saya selanjutnya adalah mencari ilmu di SMK Farmasi Muhammadiyah. Mengundurkan diri dari SMA Negeri favorit saat itu ternyata pilihan yang tepat. ALLAH kembali menempatkan saya pada lingkungan yang mewajibkan siswinya berhijab, ditambah dengan pengetahuan agama yang lebih banyak dibanding SMA Negeri pada umumnya, membuat saya  lebih banyak belajar dibanding bermain. Lambat laun saya membiasakan berhijab diluar sekolah walaupun hijab yang saya kenakan belum sesuai syari’at. Saya lebih percaya diri untuk belajar menutup aurat walaupun teman-teman yang lain masih nyaman-nyaman saja kesana kemari dengan rambut indah terurai. Bersyukur pula ada keluarga yang selalu cerewet mengingatkan saya agar selalu membenahi diri.

Saat itu kakak saya sedang menempuh pendidikan di sebuah Universitas, dia seorang aktivis yang sibuk berorganisasi, pulang-pergi kampus untuk kegiatan ini dan itu. Seringkali saya mengantar atau menjemput kakak dikampus. Disana saya bertemu teman-teman akhwat dari LDK yang selalu mengenakan rok panjang, berjilbab, berkhimar lebar, berkaus kaki, juga menutup pergelangan tangannya dengan manset. Kontras jika dibanding saya yang masih mengenakan jeans ketat, khimar yang seadanya, tanpa kaus kaki apalagi manset. Pernah satu hari teman kakak berkomentar, “Ya ALLAH fey (panggilan untuk kakak), itu si Mia kok celananya ketat banget..” dan saya hanya bisa menunduk menahan malu dikomentari seperti itu oleh seorang akhwat. Komentar yang terdengar seperti teriakan untuk segera mengubah tampilan, malu pada ALLAH karena diri masih jauh dari kata baik sebagai seorang hamba…

Pertengahan tahun 2011, ALLAH mengabulkan niat saya untuk merantau, melanjutkan studi jauh dari kota kelahiran. Harapan saya adalah meninggalkan segala lalu yang buruk, hijrah ke lingkungan baru untuk mendapatkan lebih banyak kebaikan, fokus pada pembenahan diri ditengah orang-orang hebat yang akan saya temui. Awal kuliah tampilan mulai saya ubah, celana saya ganti dengan rok panjang, khimar yang tadinya asal menutup kepala mulai saya lebarkan sedikit demi sedikit. Sungguh ALLAH terlalu baik untuk diri yang buruk ini, DIA selalu tempatkan saya pada lingkungan yang membaikkan. Kampus dan asrama tempat saya tinggal, serta orang-orang di sekitar yang membuat saya termotivasi untuk benahi diri. Beberapa kali saya menangis melihat akhwat-akhwat yang konsisten menjaga dirinya dalam hijab. Merasa iri, malu, karena diri tertinggal jauh dalam langkah pendekatan pada Tuhan. Melihat mereka yang cerdas, santun, mencintai Tuhannya, serta dicintai banyak orang, membandingkan dengan keadaan diri yang masih kacau, muslimah begitu seharusnya, tapi saya???



Mengubah diri sungguh bukan hal instan yang sehari-dua hari bisa selesai. Perubahan akan terus berjalan dan harus selalu berjalan sampai ALLAH kata hidup kita usai, berproses dalam hidup untuk mempersembahkan yang terbaik bagi Tuhan Pencipta alam. Begitupun hijab, bukan hanya perkara tampilan. Lebih dari itu hijab secara otomatis mengatur sikap, ucapan, pola fikir, serta kebiasaan yang ada. Komentar, kritikan, bahkan sikap dari orang sekitar pasti hadir mewarnai proses perbaikan. Itu konsekuensi yang harus dihadapi, menguji diri apa akan tetap konsisten pada niat awal, atau terpengaruh dan hentikan langkah yang baru sejengkal. Saya ingat pernah difitnah oleh beberapa orang teman, pernah dibilang sok suci, munafik, bahkan dikata teroris dan sebagainya saat saya memutuskan untuk lebih menutup diri. Pahit memang, tapi dari situ saya menjadi lebih sabar. Saya tetap PD dan bangga dengan kain lebar yang menjulur di badan. Saya bangga dengan agama yang saya imani, dengan segala aturannya yang tidak ada cela sedikitpun bagi penganutnya. ALLAH terlalu baik untuk kita yang membangkang. Rasa syukur memenuhi jiwa, betapa saya diselamatkan oleh NYA…

Proses penyempurnaan hijab diawali dengan menyingkirkan baju-baju ketat, celana jeans, dan khimar-khimar yang menurut saya tidak layak digunakan untuk menutup aurat. Saya banyak melihat, mendengar, membaca, dan bertanya tentang hijab pada kakak, teman, dan orang-orang sekitar. Karena diawal saya masih minim persediaan khimar-khimar lebar, saya akali kain-kain tipis tersebut dengan merangkapnya agar tidak tembus pandang, sama seperti akhwat-akhwat lain. Saya sisihkan uang kiriman orang tua untuk membeli khimar, kaus kaki, manset, dan lain-lain, barang-barang kecil yang menyelamatkan saya dari panasnya api neraka. Sempat terfikir akan lebih “ribet” sepertinya dengan khimar yang lebih lebar, memakai rok atau jilbab setiap hari, berkaus kaki, harus menjaga sikap, ucapan, serta pandangan. Tapi pada perjalanannya, keharusan-keharusan itu membuat hidup saya semakin nyaman. Usaha saya dalam menyempurnakan hijab memberikan lebih banyak kebaikan. Seringkali penyesalan datang, andai saya lebih awal menghijabi diri seperti mereka muslimah-muslimah sejati. Tapi hati yakin bahwa buruk di masa lalu adalah pelajaran berharga yang ALLAH beri, agar saya bisa lebih konsisten dalam perubahan ini.

Sobat muslimah, masa muda sangat rentan membuat kita lupa diri, bahkan lupa pada Tuhan yang menciptakan diri. Tapi yang pasti bahwa berhijab bukan perkara usia, bukan perkara sudah baik atau belum diri kita, karena hijab yang akan melindungi dan memperbaiki diri kita. Hijab adalah kewajiban, bukan pilihan. Tidak ada kata menunggu kesiapan diri atau hati. Jangan menyerah pada pergaulan sampai-sampai yang wajib disingkirkan. Na’udzubillah... Penyesalan itu hanya ada diakhir, saya yakin kesadaran untuk menghijabi diri pasti ada dalam hati kalian sobat, ayo segera kita realisasikan. Karena batas usia tidak pernah kita tau sampai kapan. Maka jangan pernah takut atau malu dengan komentar-komentar orang, jadikan semua itu motivasi untuk mendekatkan diri pada ILLAHI. Karena tidak akan ada habisnya jika kita ikuti keinginan manusia, yang ada diri malah tenggelam pada keragu-raguan, langkah baik terhenti, bahkan terbawa pada keburukan.

Muslimah itu istimewa karena sedikit yang terlihat darinya, bukan bangga memamerkan kecantikan dan keindahan diri. Secoret tulisan ini semoga memberi bekas pada kalian sobat, bukan maksud untuk menggurui, hanya sekedar berbagi. Semoga ALLAH meridhoi setiap niat baik serta usaha diri dalam mencapai ridho NYA.. Aamiin Yaa Robbal ‘Aalamiin… :)

Menetap atau Menghilang

Seringkali manusia tidak sekuat itu untuk tetap menjadi teman setelah perasaannya terluka.ㅤㅤㅤㅤ Beberapa memilih berdamai dengan diri dan kea...