“Saya hanya……”
Lidahnya tercekat.
Kalimatnya tertahan diantara lidah dan tenggorokan. Ia mengingat hari-hari
dimana ia hanya duduk dikursi tua itu, ditemani sebuah agenda tebal penuh
cerita, bersanding dengan origami-origami kertas yang setiap hari ia buat, bertebaran
diatas meja kayu antik. Didepannya, sebuah jendela terbuka menghadap langsung
pada keramaian diluar sana. Menjadi penghubung antara ia dengan dunia luar,
dunia yang kontras dengan tempatnya berada saat ini. Ia melamun, lagi.
Ingatannya melayang, lagi. Bukan pada lalu yang membuatnya berada disini, tapi
pada kesendirian yang tengah ia nikmati.
“Hanya apa…?”
tanya seorang gadis cantik dibelakangnya, bukan puterinya, atau keluarganya,
apalagi saudara jauh yang sedang menjenguknya.
Lamunannya
seketika mengabur, memaksa ia kembali pada jasadnya dihadap meja kayu antik. Ia
tak tau harus menjawab apa. Lama sudah otaknya berputar kesana-kemari, tapi
belum ia temukan kalimat yang tepat untuk menjadi jawaban pasti. Ia rasa diam
adalah jawaban yang paling tepat sebenarnya. Karena yang benar seringkali tidak
butuh kata untuk mewakilinya. Karena yang benar sudah terlalu jauh untuk
dikejar. Karena yang benar sudah ia abadikan menjadi rangkaian ejaan, hidup
didalam agenda merahnya. Atau dalam lipatan origami kertas yang memenuhi
kamarnya. Bukan untuk diumbar kemana-mana, cukup ada dalam dunianya saja. Ia
tatap belasan origami diatas mejanya, membayangkan mereka terbang dan membawa
setiap kisahnya pada dunia, atau membawanya terbang dari ruangan sempit dengan
kursi tua dan meja kayu yang membosankan.
Tapi lamunannya sudah terlalu jauh dari nyata yang ada, kalimat untuk menjadi jawab tidak juga ia temukan. Tanpa ia sadar, gadis cantik itu telah berada dihadapnya, berlutut menatapnya dengan iba, mengusap tetesan-tetesan air hangat yang mengalir diwajah tuanya.
Tapi lamunannya sudah terlalu jauh dari nyata yang ada, kalimat untuk menjadi jawab tidak juga ia temukan. Tanpa ia sadar, gadis cantik itu telah berada dihadapnya, berlutut menatapnya dengan iba, mengusap tetesan-tetesan air hangat yang mengalir diwajah tuanya.
“Kenapa ibu
menangis..?” tanyanya tak tega.
“Saya hanya…sedang
tidak waras waktu itu.” Jawabnya sekenanya. Sambil buru-buru memalingkan wajah
dan membersihkannya dari airmata. Berharap sang gadis bosan dan segera pergi
meninggalkannya.
Sang gadis
kemudian berdiri, menyadari ketidaknyamanan wanita itu. Ia tidak serta merta
pergi, diambilnya sebuah origami sembari berjalan kehadap jendela, matanya
menatap jauh pada pemandangan diluar sana. Kumpulan anak kecil yang dengan
riangnya bermain, berkejaran tanpa beban.
“Saya tidak tau
seberapa waras diri ibu saat ini, tapi tulisan-tulisan ibu menjelaskan banyak
hal yang membuat saya penasaran, saya hanya ingin ibu sedikit berbagi…” katanya
pasti, meyakinkan si wanita agar mau bicara.
“Saya...tidak ada
yang perlu saya bagi pada siapapun. Saya bahagia seperti ini.” Jawab si wanita
tanpa basa-basi. Berusaha terlihat baik-baik saja. Bertahan dengan sikap dinginnya
yang penuh sandiwara.
Ya, sandiwara yang
ia mainkan sejak ia berada ditempat ini. Jauh dari sifat aslinya yang ceria,
hangat, dan penuh semangat. Ia sudah jarang sekali berbicara, Menulis dan Melamun
lebih ia sukai dibanding berbincang menceritakan apa yang ia rasa. Biar saja ia
simpan segala ekspresi tentang dirinya, tentang bahagia & kesakitan
masalalunya, tentang ketidaksukaan pada lingkungannya yang cenderung munafik,
tentang segala yang ia lihat & rasakan dari dalam ruang ini setiap harinya,
atau tentang harapannya yang tidak pernah mati, ejaan yang selalu ia rawat
didalam agenda merahnya, atau dalam origami-origaminya, atau dalam lamunannya.
Dengan setia, dihadap keramaian yang ada jauh diseberang jendela, ia tersenyum menatap
kebahagiaan manusia lain, mensyukuri setiap nikmat dalam sisa hidupnya. Hingga setiap
tanya yang ditujukan padanya, ia jawab dengan kalimat yang sama, “Saya
hanya…sedang tidak waras waktu itu.”
‘Waktu itu’, entah
kapan berakhir dan bermulanya…
Sukoharjo,
02062013 : 2214
Tidak ada komentar:
Posting Komentar