Rabu, 05 Juni 2013

Salah

Menutup kesengajaan, keterpaksaan, ke-tidakberdaya-an
Yang tak hilang Dicari, Yang tak usik Dihindari
Alhasil retakan melebar, lagi
Memecah sekitar dalam kecenderungannya pada mimpi
Membiaskan ejaan, membiarkannya hilang hingga dilupakan
Menghilang, atau dihilangkan, mungkin lebih baik daripada Kehilangan
Saat tanda tanya merubah warna dunia
Saat tanda tanya melayang mengejar logika
Cerahnya berubah, ‘biasa’nya berubah
Asa terubah, laku pun ikut dirubah


Menutup kewajaran, ketakutan, kebencian pada kata ‘maklum’
Yang sesaat meracau, mengecewakan, tanpa butuh kata ‘maaf’
Meski langit dengan atau tanpa bintang
Meski dalam abu atau hitam-putihnya malam
Yang benar biar tetap menjadi benar
Yang salah jangan pula menjadi cerita
Karena yang dicari hanya butuh dilupakan
Sampai terlepas tanya yang menggandrungi rasa
Hujan memberi kesempatan untuk ku duduk diam menatapnya
Diam dalam bercerita, Diam dalam mengadu
Diam tidak tau malu, terlalu


Menutup cerita, rasa, pilihan
Kala itu… kala itu…
Sedang kemungkinan tak terbaca
Kemudian biar takdir membuktikan
Menjadi jawab untuk banyak Tanda Tanya mengecewakan
Kala itu… kala itu…
Kala Nyata menamparku dengan telaknya
Kala rasa aku deskripsikan dengan munafik
Memalukan. Menyedihkan.
Seperti bukan manusia saja.
Ejaan, Melemahkan…


 06062013
weak-

Senin, 03 Juni 2013

" amat "



Aku melihat banyak kekeliruan, dari mereka yang menamai jiwanya ISLAM. Mereka yang ber’seragam’ tapi tidak berusaha menjadikan dirinya pantas dengan apa yang 'dipakai'nya. Merasa bahwa manusia mutlak tempatnya salah & lupa, jadi wajar saja… tanpa ada pembenaran, tanpa ada perbaikan, atau sekedar niat menjadi makhluk yang lebih punya ‘harga’. Memalukan.


Aku mendengar mereka berkoar tentang firman TUHAN, tentang apa yang dikata halal dan haram, tentang mana perkara yang benar atau salah yang tidak boleh dilakukan. setelahnya, mereka sendiri yang mempraktekkan. Kacau.

Aku mencium aroma kebencian, dari banyak orang pada sebagian manusia lainnya, entah pria atau wanita, atau lebih pantas disebut ‘jantan’ dan ‘betina’. yang katanya ukhuwah ISLAMiyah harus dijunjung tinggi, tapi fitnah dan rasa benci ditebar kesana-kemari, bahkan pada saudara sesama ISLAM. Bangga dengan kesalahan yang oranglain buat. Merasa benar dengan segala munafik yang disembunyikan. Ironis.


Aku memperhatikan satu demi satu yang terlihat ‘baik’, merasa iri hingga berusaha menyamai. Tapi lama-kelamaan, perhatianku dibuat kecewa dengan ‘kebusukan’ yang perlahan terungkap. Yang punya nama A, B, atau C, sama saja bentuknya. Menyedihkan.


Aku mendekat, pada mereka yang aku percaya, yang membawa nama TUHAN dalam sumpahnya, membuatku nyaman dalam keterbukaan… sedetik kemudian, Fitnah merajalela… oh manusia, mulut-mu harimau-mu. Munafik.

Aku hormat pada mereka yang berILMU seluas samudera sedunia, atau seluas angkasa raya. Aku kagum, aku iri, merasa kerdil dihadap mereka saat ilmuku diuji, tak sebanding. Tapi dalam nyata, aku sadar, Ilmu dalam otaknya hanya sekedar teori, full-text tanpa realisasi. Sekedar tau tapi tidak mau memahami. ILMUnya hanya mengendap dalam otak, biar lama-lama menjadi kerak. Bangga ber-ILMU katanya. Bukan bangga mengamalkan ilmu. Kasihan.




Aku membuka mata, banyak yang salah jelas bertebaran dihadapan, saat nama TUHAN dipermainkan, saat ILMU TUHAN dijadikan ukuran kebanggaan, saat AYAT TUHAN diartikan bermacam-macam, saat ATURAN TUHAN ditawar-tawar, dikurangi atau ditambahi. Hebat benar.


Sepertinya kini manusia sudah terlalu cerdas, sudah terlalu adidaya hingga tanpa malu mengatur-ngatur TUHAN, berani berlaku ini dan itu, menyepelekan yang salah dan memberatkan yang benar, hingga BODOHnya jelas terlihat tanpa adanya IMAN.


Yang benar itu tidak ada. Yang benar itu NOL BESAR.
Aku menengadah dalam tenang, menatap langit yang luas, kosong, dalam pejam dihadap langit tanpa warna, aku menyadari keberadaan TUHAN…
ALLAHUAKBAR, Maha Suci Engkau, Maha Kuasa Engkau Yaa ALLAH.
Maka ampunilah aku dengan segenap dosa & kehinaan ini, ampuni aku dengan segenap sombong & kebodohan ini, ampuni aku dalam susah-payahku menuju padaMU… Laa hawla walaa quwwata Illaabillaahil ‘aliyyil ‘adziim…




Sukoharjo,

HTM 02062013


Minggu, 02 Juni 2013

Dihadap Tanya...



“Saya hanya……”
Lidahnya tercekat. Kalimatnya tertahan diantara lidah dan tenggorokan. Ia mengingat hari-hari dimana ia hanya duduk dikursi tua itu, ditemani sebuah agenda tebal penuh cerita, bersanding dengan origami-origami kertas yang setiap hari ia buat, bertebaran diatas meja kayu antik. Didepannya, sebuah jendela terbuka menghadap langsung pada keramaian diluar sana. Menjadi penghubung antara ia dengan dunia luar, dunia yang kontras dengan tempatnya berada saat ini. Ia melamun, lagi. Ingatannya melayang, lagi. Bukan pada lalu yang membuatnya berada disini, tapi pada kesendirian yang tengah ia nikmati.

“Hanya apa…?” tanya seorang gadis cantik dibelakangnya, bukan puterinya, atau keluarganya, apalagi saudara jauh yang sedang menjenguknya. 

Lamunannya seketika mengabur, memaksa ia kembali pada jasadnya dihadap meja kayu antik. Ia tak tau harus menjawab apa. Lama sudah otaknya berputar kesana-kemari, tapi belum ia temukan kalimat yang tepat untuk menjadi jawaban pasti. Ia rasa diam adalah jawaban yang paling tepat sebenarnya. Karena yang benar seringkali tidak butuh kata untuk mewakilinya. Karena yang benar sudah terlalu jauh untuk dikejar. Karena yang benar sudah ia abadikan menjadi rangkaian ejaan, hidup didalam agenda merahnya. Atau dalam lipatan origami kertas yang memenuhi kamarnya. Bukan untuk diumbar kemana-mana, cukup ada dalam dunianya saja. Ia tatap belasan origami diatas mejanya, membayangkan mereka terbang dan membawa setiap kisahnya pada dunia, atau membawanya terbang dari ruangan sempit dengan kursi tua dan meja kayu yang membosankan.





Tapi lamunannya sudah terlalu jauh dari nyata yang ada, kalimat untuk menjadi jawab tidak juga ia temukan. Tanpa ia sadar, gadis cantik itu telah berada dihadapnya, berlutut menatapnya dengan iba, mengusap tetesan-tetesan air hangat yang mengalir diwajah tuanya.

“Kenapa ibu menangis..?” tanyanya tak tega.
“Saya hanya…sedang tidak waras waktu itu.” Jawabnya sekenanya. Sambil buru-buru memalingkan wajah dan membersihkannya dari airmata. Berharap sang gadis bosan dan segera pergi meninggalkannya.
Sang gadis kemudian berdiri, menyadari ketidaknyamanan wanita itu. Ia tidak serta merta pergi, diambilnya sebuah origami sembari berjalan kehadap jendela, matanya menatap jauh pada pemandangan diluar sana. Kumpulan anak kecil yang dengan riangnya bermain, berkejaran tanpa beban.

“Saya tidak tau seberapa waras diri ibu saat ini, tapi tulisan-tulisan ibu menjelaskan banyak hal yang membuat saya penasaran, saya hanya ingin ibu sedikit berbagi…” katanya pasti, meyakinkan si wanita agar mau bicara.
“Saya...tidak ada yang perlu saya bagi pada siapapun. Saya bahagia seperti ini.” Jawab si wanita tanpa basa-basi. Berusaha terlihat baik-baik saja. Bertahan dengan sikap dinginnya yang penuh sandiwara.

Ya, sandiwara yang ia mainkan sejak ia berada ditempat ini. Jauh dari sifat aslinya yang ceria, hangat, dan penuh semangat. Ia sudah jarang sekali berbicara, Menulis dan Melamun lebih ia sukai dibanding berbincang menceritakan apa yang ia rasa. Biar saja ia simpan segala ekspresi tentang dirinya, tentang bahagia & kesakitan masalalunya, tentang ketidaksukaan pada lingkungannya yang cenderung munafik, tentang segala yang ia lihat & rasakan dari dalam ruang ini setiap harinya, atau tentang harapannya yang tidak pernah mati, ejaan yang selalu ia rawat didalam agenda merahnya, atau dalam origami-origaminya, atau dalam lamunannya. Dengan setia, dihadap keramaian yang ada jauh diseberang jendela, ia tersenyum menatap kebahagiaan manusia lain, mensyukuri setiap nikmat dalam sisa hidupnya. Hingga setiap tanya yang ditujukan padanya, ia jawab dengan kalimat yang sama, “Saya hanya…sedang tidak waras waktu itu.” 

‘Waktu itu’, entah kapan berakhir dan bermulanya…



Sukoharjo,
02062013 : 2214


Senin, 25 Maret 2013

Hamparan Air Asin..


Ini tentang aku saja… bukan perkara dia atau mereka. Maka jangan patahkan fakta dan menumpuk nilai-nilai busuk yang dikira berharga. Karena jarak kebaikan kian melebar diantara nyata dan fiksi dengan bahagianya... mengacaukan hasil korelasi walau mimpi coba ditafsirkan sepenuh hati.

Kadang berlari dari mimpi satu menuju khayal yang lain, yang kesemuanya tidak berwujud. Mencoba perjelas yang bias, tapi terbatas pada kebingungan mendengar yang lain mendongengkan kisah-kisahnya, hamburkan serangkai naskah menjadi pecahan-pecahan huruf tanpa arti, tak berarti… kalah dengan persepsi konyol yang lebih banyak dilirik, bukan karena menarik, hanya cukup beruntung berada pada fase itu…


Bebas, saat khayal mendapat izin dari banyak arti yang tak tampak. Satu hadir sempurnakan mimpi, mengisi setiap fiksi, membuat tebak-tebakan tentang wujud dari khayal tempat dipijak, meski sementara…

Dekat sekali dengan optimistis mereka menggagalkan langkah, berkata mustahil untuk setiap kata di udara, melayang, melayang mengikuti setiap dongeng dengan segala endingnya… melayang diatas nyata yang belum sempat terjamah, mewakilkan cintanya pada hamparan ketenangan, merindukan, membuat batas menjadi setipis “ini” dengan desakan kegagalan… suram, tapi dikata temaram. Karena pendongeng punya bahasanya sendiri, tidak akan melemah meski terlalu aneh untuk yang waras disana…


Tambah satu, menutup ruang fiksi dengan kreatifitas berbeda, genapkan bahagia sampai langkah berhenti berlari. Temukan yang harus dicari, karena yang fiksi tak bisa semua mengerti. Tapi ditodong dengan keberanian demi selintas mimpi. keanehan, kekacauan, ditinggalkan… atau tidak. Yang nyata terlalu rendah dikenali, juga sama egoisnya mereka itu…

Tapi yang berat ketika hati dipaksa redam egonya, diatas segala fiksi & khayal yang sudah terlalu sempurna… mengusir yang melengkapi, membiarkan diri berkutat dengan sukarnya wujudkan mimpi. Satu, satu, harap melawan segala tantang, berani dengan dibayangi yang terusir, meski puluhan tahun, kata itu akan tetap ada, tetap melayang dan coba menjamah asalnya, hamparan air asin...


Dan semua yang terpilih, buktikan bahwa  takdir itu ada. Terlalu rumit memang, berputar kesana-kemari menghindari khayal yang sempurna. Entahlah apa hati memilih atau dipilih, pun seberapa kuat diri berada dalam nyata yang sebenar-benarnya. Meski puluhan tahun, tetap, yang terusir pertahankan kesempurnaannya. Dan perputaran kembali satukan cinta dalam kreatifitas berkhayal. Kembali pada asalnya, hamparan air asin…


Melarung selembar demi selembar kisah konyol yang hanya dipahami diri, menjadi semakin sempurna karena perputaran mempertemukan hati dengan pilihan-pilihannya. Atau sebaliknya… Memecah fiksi dalam fananya kenyataan hidup. Yang tak dicari, yang tak dikejar dengan berlari, yang tak diharap dengan hindar, yang rendah dinilai tapi tertanam jutaan inspirasi padanya, bintang katanya. Memberi tenang dan senang, menguatkan…

Melarung semua emosi, sampai jenuh memenuhi hamparan itu… tak pernah bertemu, tapi jelas tempatnya didalam “sini”. Selalu menjadi yang dituju, masih bias tapi yang menenangkan pasti akan nyata, hadir, sama seperti yang terusir. Cukup banyak mengutip pola dari yang terbaca, inspirasi, realitas…

Jauh sekali disana, yang satu, yang terusir, yang tak terbayang, mungkin juga sedang berkawan dengan asalnya, hamparan air asin…



Sukoharjo, 24 Maret 2013



Menetap atau Menghilang

Seringkali manusia tidak sekuat itu untuk tetap menjadi teman setelah perasaannya terluka.ㅤㅤㅤㅤ Beberapa memilih berdamai dengan diri dan kea...