Bismillaahirrohmaanirrohiim.
22 Januari 2015. Sore
itu dalam perjalanan pulang, langkah kaki aku sambi dengan lamunan, memikirkan
hendak makan apa sebagai penutup hari. Maklum, sejak jadi anak kost -anyar-, setiap
hari pasti muncul pertanyaan yang sama. Pagi, siang, sore, malam, “makan apa
yaa?” Memang bosan rasanya mencari 2 sampai 3 jawaban berbeda untuk menjawab 1
pertanyaan yang itu-itu saja setiap hari. Tapi begitulah, pada akhirnya otak,
lidah dan perut berkolaborasi menjadi “otomatis-kreatif” untuk dapat menentukan
pilihan dalam waktu singkat #keren… Baru melewati belokan pertama, aku lihat
gerobak mie ayam berwarna biru sedang parkir jauh di depan sana, rasa-rasanya
familiar :v Ternyata benar, aku sering “papasan” dengan gerobak + bapak penjual
mie ayam yang satu ini. Setiap kami berjumpa, entah saat aku sedang naik motor,
gowes sepeda, atau jalan kaki, bapak penjual mie ayam pasti melihatku lalu
tersenyum ramah ala “wong jowo”. Awalnya aku aneh, apa memang si bapak ini
orangnya sangat-ramah-sekali ya? Atau mungkin sebenarnya itu ‘kode’ dari si
bapak untuk menawarkan mie ayam padaku? #LOL :v Aku pun membalasnya dengan
anggukan, senyuman atau kadang dengan sapaan walau hanya sekedar “monggo pak” -karena
tidak tau sapaan jawa yang lain- lalu si bapak menjawab “njeh monggo mbak”…
Dan sore ini rupanya si
gerobak biru + si bapak sedang parkir di daerah situ. Aku jadi penasaran, reflek
aku putuskan bahwa menu makan sore ini adalah mie ayam #yey (y) Walau belum ada
persetujuan dari lidah dan perut, tapi otakku sudah keburu mengetok palu tanda keputusan
sudah final xD
“Pak, mie ayamnya satu
dibungkus ya, gak usah pake kuah pak.”
“Oh iya mbak, keringan ya…” Ku
lihat si bapak dengan gesit menyiapkan bumbu di mangkok selagi mie dan sayur direbus.
Dan seperti biasa, jiwa kepo ku muncul. Wawancara pun dimulai.
“Bapak tinggalnya dimana
pak?” tanya ku sksd.
“Ooh deket kok mbak daerah
karangasem itu lho, sebelah situnya itu, sininya ini” (si bapak menyebutkan
berbagai arah & tempat yang aku tidak tau dimana) -_-
“Ooh situ tho, yayaya…” kata
ku sok paham, padahal cari cepat.
“Kalo mbaknya asli mana?” Si
bapak ikutan kepo xD
“Saya aslinya cirebon pak,
tapi tinggalnya di daerah masjid B situ.”
“Ooh, saya kalo ashar juga
mangkal disitu mbak, pas jam sholat sekalian istirahat.”
“Ooiya pak, pantes kadang
liat bapak disitu. Ini bapak kalo pulang jam berapa pak? Ampe malem ya dagangnya?”
“Yaa ini udah mau pulang kok
mbak, pokoknya isya harus udah di rumah sama keluarga.”
“Waah sip sip pak.” Kata ku
salut.
“Iyaa, jadi kalo dzuhur saya
mampir di masjid A itu lho mbak, ashar saya di masjid B, terus ini nanti maghriban
dulu di masjid C, baru pulang terus isya nya di rumah… Kan di masjid kadang
suka ada ceramah mbak, yaa mampir-mampir… Ngumpulin bekel mbak, buat Mati.”
Kata si bapak panjang X lebar X tinggi. Si bapak yang awalnya bicara sambil
sibuk meracik dan membungkus mie ayam, entah kenapa saat sampai di kalimat
terakhir membalikkan tubuhnya sambil menatapku. “Ngumpulin bekel mbak, buat
Mati.” Kata-kata itu yang sampai sekarang masih selalu aku ingat, plus ekspresi
wajah si bapak yang ramah, sederhana dan sangat jawa sekali.
Setelah prosesi “beli mie
ayam” selesai, aku sempatkan basa-basi sebentar sebagai penutup wawancara
dadakan sore itu, lalu pamit pada si bapak yang ternyata biasa dipanggil Pak De
oleh orang-orang sekitar. Kali ini ku ucapkan salam karena tau bahwa si bapak muslim, “Salam’alaykum pak…” kata ku sambil
mengangguk dan tersenyum.
“Wa-’a-lay-ku-mus-salam mbak”
kata si bapak dengan sangat jelas. Tak lupa senyumnya berseri, gerobak biru pun
ikut melambai melepas kepulanganku bersama sebungkus mie ayam #Lebay :v
Beberapa
langkah setelah meninggalkan gerobak biru, aku habiskan jalanan sambil
menunduk, kalimat pamungkas dari si bapak masih terngiang-ngiang di telinga
hingga merangsang otak untuk berfikir dan merasuk ke hati untuk merenung. Ya
ALLOH, si bapak saja masih ingat “bekel buat mati”, lalu aku??? Malu rasanya,
sedih. Padahal beliau lelah mencari nafkah, keliling dengan gerobak andalan
walau panas ataupun hujan, tapi rupanya rute dagang sudah ia atur agar saat
masuk waktu sholat ia bisa mampir di masjid-masjid yang disebutkannya tadi.
Keren si bapak ini. Walau fisiknya sedang sibuk dan lelah mengurus “bekel buat
hidup” dengan gerobak mie ayam, tapi rupanya hati dan jiwa tidak lupa
memikirkan “bekel buat mati”. Seimbang.
Kita
bagaimana? Sudah begitu belum ya? Padahal untuk makan saja kita cuma tinggal
“mikir dan milih” mau makan apa, tak perlu kesana-kemari mencari uang untuk
beli, diberi tempat tinggal yang nyaman, bisa ibadah wajib dan sunnah dengan
tenang, diberi banyak waktu untuk mencari ilmu, tapi seberapa sering sih kita
ingat dengan “bekal-bekal” kita baik untuk hidup ataupun untuk mati? Boro-boro
memikirkan bekal untuk mati, bahkan untuk hidup yang jelas ada di depan mata
saja seringkali kita masih bingung mengambil langkah. Dengan bejibun fasilitas
dunia yang ALLOH beri, rupanya kita malah menjadi lemah, belum bisa memilih
bekal mana nih yang akan menyelamatkan hidup dan mati kita nanti? Bekal mana
nih yang benar-benar bisa kita bawa sekaligus membawa kita ke dalam syurga
hingga bertemu ALLOH SWT? Kita malah sibuk menyerobot banyak aksesoris dunia,
mengumpulkan sampah, benalu, yang hanya memberatkan langkah kita dan menggiring
kita ke neraka. Na’udzubillah! #Amit-amit!
Sore
itu, alhamdulillah ALLOH memberikanku ilmu yang tidak mungkin aku dapatkan di
dalam kelas kuliah ber-AC mahal dengan suhu 16o celcius. Ilmu yang
ALLOH tunjukkan langsung narasumbernya, bermodal jalan kaki di sore hari, ilmu
yang sederhana, tapi bermakna dan mengena. Bahwa siapapun dan bagaimanapun diri
kita, jangan pernah lupa untuk mengumpulkan bekal untuk akhirat esok, karena
Rosululloh SAW bersabda “Orang yang paling banyak mengingat kematian dan paling
mempersiapkan bekal untuknya, mereka itulah orang-orang yang Cerdas, mereka
memboyong kemuliaan dunia dan akhirat.”
Masyaa
ALLOH. Mari neng anu geulis, aa anu kasep, mari kita lihat diri kita
masing-masing, selama ini dimana sih kata “kematian” kita tempatkan? Dalam
do’a? Dalam jiwa? Di otak? Di hati? Di buku harian? Atau malah tidak pernah
kita sentuh sama sekali kata yang satu itu karena kita takut? Ayo di ingat… Apapun
bentuknya, yang diberi jiwa oleh ALLOH pasti bakal Mati, tak usah ragu. Dan ayo
di ingat juga… Bahwa Hidup kita ini hanya untuk Mati, dan Kematian kita
hakikatnya untuk Dihidupkan kembali… Maka mari hidup dengan baik dan benar
untuk menuju sebaik-baik kematian yang ALLOH ridhoi, dijemput oleh barisan
malaikat yang mendo’akan kita sampai ke alam kubur yang lapang dan terang
benderang. Dan mari menjemput kematian dengan cara yang mulia, khusnul
khotimah, agar kelak kita dihidupkan kembali sebagai makhluk yang ALLOH cintai,
dihantar hingga ke syurga, dikumpulkan dengan kekasih-kekasih NYA para mukminin
dan mukminat. Aamiin Yaa Robbal ‘Aalamiin.
Yap.
Hidup untuk Mati dan Mati untuk Hidup… Baarokallohufiikum :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar